Kamis, 25 Juni 2009

Komunikasi Terapeutik Perawat Pada Gangguan Jiwa Klien Dewasa
Sri Wahyuningsih

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo
Po.Box 2 Kamal-Telang, Bangkalan Madura 69165
e-mail: naningunijoyo@yahoo.com
CP: 081553088855, 085294539819


Abstraksi:
Keterampilan komunikasi terapeutik harus dikuasai oleh perawat karena ini merupakan bagian yang penting dalam membantu penyembuhan klien terutama klien dewasa yang memiliki ganggguan jiwa atau stress yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor biologic, faktor psikologic, dan faktor sosiobudaya. Perawat harus mempunyai sikap komunikasi yang bagus, mengembangkan helping relationship, menguasai prinsip-prinsip komunikasi terapeutik untuk melakukan fase-fase hubungan terapeutik. Dalam membangun hubungan yang terapeutik dengan klien dewasa model komunikasi yang ada adalah 1) Model Interaksi King yaitu memberikan penekanan pada proses komunikasi antara perawat-klien. King menggunakan sistem perspektif untuk menggambarkan bagaimana profesional kesehatan (perawat) untuk memberi bantuan pada klien. Bahwa interaksi perawat-klien secara simultan membuat keputusan tentang keadaan mereka dan tentang orang lain dan berdasarkan persepsi mereka terhadap situasi. 2) Model Komunikasi Kesehatan difokuskan pada transaksi antara profesional kesehatan (perawat)-klien. Tiga faktor utama dalam proses komunikasi kesehatan yaitu relationship, transaksi, dan konteks.

Keywords: Komunikasi Terapeutik, Perawat-Klien Dewasa, Model Komunikasi Interaksi King dan Komunikasi Kesehatan.

1. Pendahuluan
Penyakit mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa, atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya). Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi.
Sekitar 20% dari kita akan mengalami gangguan mental pada suatu waktu dalam hidup kita. Gangguan mental yang mungkin dialami oleh tiap orang itu berbeda-beda dalam hal jenis, keparahan, lama sakit, frekuensi kekambuhan, dan cara pengobatannya. (http://www.geocities.com/almarams/MentDis_What.htm).
Ada beberapa jenis gangguan jiwa, tetapi kasus yang banyak menimpa masyarakat di Indonesia adalah gangguan jiwa afektif. Tipe gangguan jiwa tersebut ditandai dengan adanya gangguan emosi (afektif) yang mempengaruhi perilaku penderitanya.
Menurut ahli penyakit jiwa dr Surya Widya, dari RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Grogol, Jakarta Barat, terdapat dua jenis gangguan jiwa afektif, yakni gangguan depresif dan manik. Gejala pokok pada depresi, lanjutnya, antara lain muncul perasaan sedih dan kehilangan gairah terhadap segala sesuatu. Penderitanya biasanya terlihat murung, sukar tidur, tidak ada harapan, merasa terbuang, tidak berharga dan sering merasa tersakiti perasaannya hingga sampai tidak mampu menangis lagi. "Hanya dengan memperhatikan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat keluarga, kedua jenis gangguan jiwa itu dapat dibedakan dengan jelas," ungkap dr Surya Widya kepada Media Indonesia sebelum menyampaikan makalahnya pada simposium Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Terapi Gangguan Jiwa dalam Praktik Umum, di Jakarta Sabtu (27/10/2007).
"Sebaliknya pada gangguan manik, pasien menunjukkan keadaan gembira yang tinggi, cenderung berlebihan sehingga mendorong pasien berbuat sesuatu yang melampaui batas kemampuannya, pembicaraan menjadi tidak sopan dan membuat orang lain menjadi tidak enak," jelas dr Widya Pasien manik yang tidak dirawat, tambahnya, sering kali meminum alkohol secara berlebihan, berjudi secara patologik, mengenakan perhiasan rias wajah dan perhiasan secara mencolok, hingga membuka baju di tempat umum. Pasien suka terlibat secara berlebihan dalam masalah keagamaan, politik, keuangan hingga melakukan adegan seksual secara bebas. Terkadang mereka juga menjadi regresi, seperti bermain dengan urine dan kotorannya sendiri.
Pada simposium yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Indonesia (UKI), Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida), Universitas Pelita Harapan (UPH), dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Barat itu, dr Widya juga menjelaskan faktor-faktor penyebab depresi. Menurutnya, depresi bisa karena kehilangan atau kematian pasangan hidup atau seseorang yang sangat dekat, menderita penyakit fisik berat (lama mengalami penderitaan)."Gangguan ini paling banyak dijumpai pada usia 40-50 tahun dan kondisinya makin buruk pada lanjut usia (lansia). Pada usia pertengahan persentase perempuan lebih banyak dari laki-laki, tetapi di atas umur 60 tahun keadaan menjadi seimbang."Pada perempuan, katanya, mungkin ada kaitannya dengan masa menopause. Bahkan hampir 2/3 pasien depresi memikirkan untuk bunuh diri meski hanya 10%-15% yang melakukan percobaan bunuh diri.
Di tempat yang sama Presiden IDI dr Fachmi Idris mengatakan, di Indonesia berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan (Depkes) 2001, terdapat 104 penderita per 1.000 penduduk untuk rentang usia di bawah 15 tahun. Sedangkan pada usia di atas 15 tahun terdapat 140 penderita per 1.000 penduduk.
"Para penderita gangguan jiwa di negara kita masih menjadi golongan yang tersisih. Kondisi ini disebabkan tingkat kesadaran masyarakat masih rendah, adanya stigma negatif terhadap para penderita, ketertutupan pihak keluarga terdekat akibat perasaan malu memiliki anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa hingga fasilitas pengobatan dan rehabilitasi yang masih kurang. Ini yang harus kita perbaiki," jelasnya. (http://victor-health.blogspot.com/2007/11/gangguan-jiwa-afektif-tertinggi-di.html).
Gangguan jiwa dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri, Dr. dr. Luh Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor yang bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya.
(1). Faktor Biologik,
Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria penyakit dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian di antaranya mengenai kelainan-kelainan neutransmiter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada hubungannya dengan gangguan jiwa. Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neuttransmiter di otak, misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang kompleks seperti agresi dan perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang ke hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal berfungsi sebagai pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang datangnya relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyakit adalah di dalam studi keluarga. Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan efektif, lebih banyak menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington, 1980), skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi psikosis paranoid tidak ada hubungannya dengan faktor genetik, demikian pendapat Kender, 1981).
Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah mendukung etiologi genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang perlu dalam membangun kemungkinan keterangan genetik. Bila salah satu orangtua mengalami skizofrenia kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita maka 35-68 persen anaknya menderita skizofrenia, kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan saudara kandung menderita skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat ini didukung Slater, 1966, yang menyatakan angka prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota keluarga yang individunya sakit dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya.
(2). Faktor Psikologik
Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini sangat tergantung pada bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial, perubahan sosial dan tigkat sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman hidup seseorang.
Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang berulang-ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan merupakan ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi pengumpulan dan pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak kuatnya hubungan personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa.
(3). Faktor Sosiobudaya
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya tertentu berbeda dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan budaya yang lainnya, menurut Zubin, 1969, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat menyebabkan pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Pendapat ini didukung pernyataan Favazza (1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi, alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang dengan status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afektif dan alkoholisma. (http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2005/8/3/k4.htm/litbang).
Yang penting untuk diketahui, penyakit mental dapat diobati. Seperti halnya orang dengan diabetes (kencing manis) yang harus minum obat kencing manis, demikian juga orang dengan gangguan mental yang serius perlu obat untuk meredakan gejala-gejalanya. Kita harus mencari pertolongan untuk mengatasi gangguan mental seperti halnya kita pergi berobat untuk penyakit lainnya. Orang dengan penyakit mental membutuhkan dukungan/suport, penerimaan dan pengertian dari kita semua. Mereka juga punya hak seperti orang lain. Bukan malah ditakuti, dijauhi, diejek, atau didiskriminasi.
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas bahwa gangguan jiwa memerlukan penyembuhan tidak hanya secara medic saja tetapi bisa melalui penyembuhan alternatif lain yaitu dengan menerapi pasien gangguan jiwa dengan teknik komunikasi terapeutik yang akan dilakukan perawat (profesional kesehatan) terhadap pasien (klien).
II. Komunikasi Terapeutik Perawat pada Klien Dewasa

2.1. Komunikasi Pada Klien Dewasa
Menurut Erikson 1985, pada orang dewasa terjadi tahap hidup intimasi vs isolasi, dimana pada tahap ini orang dewasa mampu belajar membagi perasaan cinta kasih, minat, masalah dengan orang lain.
Orang dewasa sudah mempunyai sikap-sikap tertentu, pengetahuan tertentu, bahkan tidak jarang sikap itu sudah sangat lama menetap dalam dirinya, sehingga tidak mudah untuk merubahnya. Juga pengetahuan yang selama ini dianggapnya benar dan bermanfaat belum tentu mudah digantikan dengan pengetahuan yang baru jika kebetulan tidak sejalan dengan yang lama. Tegasnya orang dewasas bukan seperti gelas kosong yang dapat diisikan sesuatu. Oleh karena itu dikatakan bahwa kepada orang dewasa tidak dapat diajarkan sesuatu untuk merubah tingkah lakunya dengan cepat. Orang dewasa belajar kalau ia sendiri ingin belajar, terdorong akan tidak puas lagi dengan perilakunya yang sekarang, maka menginginkan suatu perilaku lain di masa mendatang, lalu mengambil langkah untuk mencapai perilaku baruitu.
Dari segi psikologis, orang dewasa dalam situasi komunikasi mempunyai sikap-sikap tertentu yaitu:
1. Komunikasi adalah suatu pengetahuan yang diinginkan oleh orang dewasa itu sendiri, maka orang dewasa tidak diajari tetapi dimotivasikan untuk mencari pengetahuan yang lebih mutakhir.
2. Komunikasi adalah suatu proses emosional dan intelektual sekaligus, manusia punya perasaan dan pikiran.
3. Komunikasi adalah hasil kerjasama antara manusia yang saling memberi dan menerima, akan belajar banyak, karena pertukaran pengalaman, saling mengungkapkan reaksi dan tanggapannya mengenai suatu masalah.

2.2. Suasana Komunikasi
Dengan adanya faktor tersebut yang mempengaruhi efektifitas komunikasi orang dewasa, maka perhatian dicurahkan pada penciptaan suasana komunikasi yang diharapkan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam berkomunikasi dengan orang dewasa adalah:
1. Suasana hormat menghormati
Orang dewasa akan mampu berkomunikasi dengan baik apabila pendapat pribadinya dihormati, ia lebih senang kalau ia boleh turut berfikir dan mengemukakan fikirannya.
2. Suasana saling menghargai
Segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, sistem nilai yang dianut perlu dihargai. Meremehkan dan menyampingkan harga diri mereka akan dapat menjadi kendala dalam jalannya komunikasi.
3. Suasana saling percaya
Saling mempercayai bahwa apa yang disampaikan itu benar adanya akan dapat membawa hasil yang diharapkan.
4. Suasana saling terbuka
Terbuka untuk mengung,kapkan diri dan terbuka untuk mendengarkan orang lain. Hanya dalam suasana keterbukaan segala alternatif dapat tergali.
Komunikasi verbal dan nonverbal adalah saling mendukung satu sama lain. Seperti anak-anak, perilaku nonverbal sama pentingnya pada orang dewasa. Akspresi wajah, gerakan tubuh dan nada suara member tanda tentang status emosional dari orang dewasa. Tetapi harus ditekankan bahwa orang dewasa mempunyai kendala pada hal ini.
Orang dewasa yang dirawat di rumah sakit bisa merasa tidak berdaya, tidak aman dan tidak mampu ketika dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang berwenang. Status kemandirian mereka telah berubah menjadi status dimana orang lain yang memutuskan kapan mereka makan dan kapan mereka tidur. Ini merupakan pengalaman yang mengancam dirinya, dimana orang dewasa tidak berdaya dan cemas, dan ini dapat terungkap dalam bentuk kemarahan dan agresi.
Dengan dilakukan komunikasi yang sesuai dengan konteks pasien sebagai orang dewasa oleh professional, pasien dewasa akan mampu bergerak lebih jauh dari imobilitas bio psikososialnya untuk mencapai penerimaan terhadap masalahnya.

2.3. Model-Model Konsep Komunikasi dan Penerapannya pada Klien Dewasa
a. Model Interaksi King (1971)
Model ini menekankan pada proses komunikasi yang terjadi antara Perawat-Klien merupakan hasil interaksi yang bertujuan untuk menentukan suatu keputusan dalam pelaksanaan tindakan kesehatan. Perawat tidak dapat melakukan tindakan kepada klien tanpa ada proses interaksi dan komunikasi tentang tindakan yang akan dilakukan pada klien. Perawat perlu menjelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan, resiko-resiko yang mungkin terjadi pada klien, akibat bila tindakan dilakukan, dan biaya yang dikeluarkan dalam tindakan tersebut, semua harus dikomunikasikan oleh klien agar keputusan yang dibuat oleh klien merupakan keputusan yang tepat dan yang terbaik.
Dalam pelaksanaannya, model ini menggunakan pandangan sistem dalam upaya membantu klien untuk mempertahankan kesehatan. Perawat perlu mengkaji dan menganalisa komponen apa saja yang terkait dengan status kesehatan klien. Perawat tidak hanya terfokus pada satu masalah karena komponen-komponen tersebut sangat terkait dan mengkait. Masalah kesehatan klien selain disebabkan oleh individu itu sendiri juga perlu dikaji faktor lingkungannya, sosial budaya masyarakat disekelilingnya. Dalam kontek komunikasi, untuk meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan klien, model ini menekankan perlu adanya hubungan timbal balik antara individu dan sistem sosial yang berlaku.


Feedback

Perception Judgment Action
Nurse
Patient
Action Judgment Perception
Reaction
Interaction
Transaction
Feedback





Gambar 2.1 Model Interaksi King. Suatu Pendekatan proses komunikasi perawat-klien (Sumber: Peter Guy & Laurel L, 1985)
Model Komunikasi Kesehatan
Model komunikasi kesehatan berfokus pada transaksi antara professional kesehatan – klien yang sesuai dengan permasalahan kesehata klien. Proses pengiriman dan penerimaan pesan antara professional dan klien terjadi secara simultan, sehingga komunikasi yang terjadi cenderung lebih nampk dan aktif. Model komunikasi ini mencakup tiga factor mayor, yaitu:
1. Relationship, ada empat tipe:
a. Professional kesehatan – Profesional kesehatan
b. Profesional kesehatan – Klen
c. Profesional kesehatan – Orang lain yang berpengaruh
d. Klien – Oang lain yang berpengaruh
Hubungan interpersonal, sikap positif, pengetahuan, pengalaman masa lalu dan faktor sosial ekonomi dapat mempengaruhi relationship.
Profesional kesehatan adalah seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan, trainingdan pengalaman dalam memberikan pelayanan kesehatan pada klien, meliputi: perawat, dokter, fisioterapis, tenaga kesehatan, administrasi dan sebagainya. Professional kesehatan mempunyai karakteristik, kepercayaan, nilai dan persepsi yang unik, hal ini tentunya dapat mempengaruhi interaksi dengan orang lain.
Klien adalah seseorang yang menerima pelayanan kesehatan secara langsung, yang mempunyai citra pribadi yang mandiri, yang mempunyai pilihan bebas dalam mencari dan memilih bantjuan serta bertanggung jawab terhadap pilihannya. Klien juga mempunyai karakteristik, kepercayaan, nilai dan persepsi yang unik dalam pelayanan kesehatan, hal ini juga mempengaruhi interaksi dengan orang lain.
Orang lain yang berpengaruh adalah orang yang mendukung baik dukungan moril, material, maupun emosional dengan klien untuk mempertahankan kesehatannya. Misalnya anggota keluarga, teman, atasan dan sebagainya.
2. Transaksi
Transaksi dalam komunikasi adalah kesepakatan, respon yang terjadi antara pengirim pesan dengan penerima pesan yang terjadi secara simultan dalam proses komunikasi. Transaksi yang terjadi mencakup perilaku komunikasi verbal dan nonverbal, yang mencakup dimensi isi dan berhubungan, terjadi secara berkesinambungan, tidak statis dan ada umpan balik.
3. Konteks
Faktor konteks dalam model ini adalah situasi dimana pelayanan kesehatan diberikan. Konteks komunikasi dapat berdasarkan pada tempat atau ruang dilaksanakan komunikasi, jenis pelayanan kesehatan yang diberikan, dan jumlah personil atau tenaga kesehatan yang ada selama memberikan pelayanan. Petugas yang terbatas akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas komunikasi. Rogers, C.R (1961) menekankan bahwa fokus interaksi dalam pelayanan kesehatan adalah klien, seorang terapis/perawat apabila berkomunikasi harus bersikap jujur, peduli tingkst pemahaman klien, dan berkeinginan membantu klien.

2.4. Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat – klien yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Maksud komunikasi adalah mempengaruhi perilaku orang lain.
Hubungan terapeutik sebagai pengalaman belajar baik bagi klien maupun perawat yang diidentifikasikan dalam empat tindakan yang harus di ambil antara perawat – klien, yaitu:
- Tindakan diawali perawat
- Respon reaksi dari klien
- Interaksi dimana perawat dank lien mengkaji kebutuhan klien dan tujuan
- Transaksi dimana hubungan timbal balik pada akhirnya dibangun untuk mencapai tujuan hubungan.
Kalthner, dkk (1995) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik terjadi dengan tujuan menolong pasien yang dilakukan oleh orang-orang yang professional dengan menggunakan pendekatan personal berdasarkan perasaan dan emosi. Di dalam komunikasi terapeutik ini harus ada unsur kepercayaan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan yang kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan pasien (Heri Purwanto, 1994).
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal dan nonverbal. (Mulyana, 2000).
Persoalan mendasar dari komunikasi terapeutik adalah adanya saling kebutuhan antara perawat dan pasien, perawat membantu pasien dan pasien menerima bantuan.
2.4.1. Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik dilaksanakan dengan tujuan:
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam hal peningkatan derajat kesehatan.
4. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis (tenaga kesehatan) secara professional dan proporsional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien.
2.4.2. Mengembangkan “Helping Relationship”
Hubungan perawat-klien tidak sekedar hubungan mutualis. Travelbee (1971) menyebutkan hubungan ini sebagai “a human to human relationship”. Kelemahan yang ada pada perawat dank lien akan menjadi hilang ketika masing-masing pihak yang terlibat interaksi mencoba memahami kondisi masing-masing. Perawat menggunakan keterampilan komunikasi interpersonalnya untuk mengembangkan hubungan dengan klien yang akan menghasilkan pemahaman tentang klien sebagai manusia utuh. Hubungan semacam ini bersifat terapeutik yang dapat meningkatkan iklim psikologis yang kondusif dan memfasilitasi perubahan dan perkembangan positif pada diri klien. Hubungan ini juga difokuskan pada tujuan utama untuk membantu memenuhi kebutuhan klien. Kreasi dari lingkungan yang terapeutik dapat memacu kemampuan perawat untuk memberikan kenyamanan fisik dan psikososial pada klien. Peran utama perawat adalah meyakinkan bahwa kebutuhan fisiologi pasien benar-benar terpenuhi. Misalnya perawat mengatur posisi pasien agar dapat bernafas dengan normal dan tidur dengan nyaman tanpa gangguan.
Helping Relationship antara perawat-klien tidak dapat begitu saja terjadi, namun harus dibangun secara cermat dalam melakukan tehnik komunikasi yang terapeutik.
Carl Rogers (1961) adalah orang yang secara intensif melakukan penelitian tentang komunikasi terapeutik. Rogers berpendapat bahwa komunikasi terapeutik bukan tentang apa yang dilakukan seseorang, tetapi bagaimana seseorang itu melakukan komunikasi dengan orang lain. Rogers mengidentifikasikan tiga factor dasar dalam mengembangkan hubungan yang saling membantu (helping relationship), yaitu 1) pembantu harus benar-benar ikhlas dan memahami tentang dirinya, 2) pembantu harus menunjukkan rasa empati, dan 3) individu yang dibantu harus merasa bebas untuk mengeluarkan segala sesuatunya tentang dirinya dalam menjalin hubungan. Dengan demikian ada tiga hal mendasar dalam mengembangkan Helping Relationship, yaitu:
1. Genuineness
Untuk membantu klien, perawat harus menyadari tentang nilai, sikap, dan perasaan yang dimiliki klien. Apa yang dipikirkan dan dirasakan perawat tentang individu dan dengan siapa dia berinteraksi perlu selalu dikomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal. Perawat yang mampu menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai klien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikannya secara tepat. Perawat tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien, hasilnya, perawat akan mampu mengeluarkan segala perasaan yang dimiliki dengan cara yang tepat, bukan dengan cara menyalahkan atau menghukum klien. Tidak selalu untuk melakukan keikhlasan. Untuk menjadi lebih percaya diri tentang perasaan dan nilai-nilai yang dimiliki membutuhkan pengembangan diri yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan setiap saat, sehingga sekali perawat mampu untuk menyatakan apa yang dia inginkan untuk membantu memulihkan kondisi pasien dengan cara yang tidak mengancam, pada saat itu pula kapasitas yang dimiliki untuk mencapai hubungan yang saling menguntungkan akan meningkat secara bermakna.

2. Emphaty
Emphati merupakan perasaan, “pemahaman” dan “penerimaan” peraawat terhadap perasaan yang dialami klien, dan kemampuan merasakan “dunia pribadi klien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak dibuat-buat (obyektif) yang didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan berfikir atau merasakan apa yang sedang dilakukan atau dirasakan oleh klien. Karenanya simpati lebih bersifat subyektif dengan melihat “dunia orangnlain” unruk mencegah prespektif yang lebih jelas dari semua sisi yang ada tentang isu-isu yang dialami seseorang.
Sebgaai perawat empatik, perawat harus berusaha keras untuk mengetahui secara pasti apa yang sedang dipikirkan dan dialami klien. Pada kondisi seperti ini, empati dapat diekspresikan melalui berbagai cara yang dapat dipakai ketika dibutuhkan, mengatakan sesuatu tentang apa yang difikirkan perawat tentang klien, dan memperlihatkan kesadaran tentang apa yang saat ini sedang dialami klien. Empati membolehkan perawat untuk berpartisipasi sejenak terhadap sesuatu yang terkait dengan emosi klien. Perawat yang berempati dengan orang lain dapat menghindarkan penilaian berdasarkan kata hati (impulsive judgment) tentang seseorang dan pada umumnya dengan empati dia akan menjadi lebih sensitif dan ikhlas.
3. Warmth
Hubungan yang saling membantu (Helping Relationship) dilakukan untuk memberikan kesempatan klien mengeluarkan “uneg-uneg” (perasaan dan nilai-nilai) secara bebas. Dengan kehangatan, perawat akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif, dan tanpa adanya ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap klien.
Sehingga klien dapat mengekpresikan perasaannya secara lebih bebas dan mendlam. Kondisi ini akan membuat perawat mempunyai kesempatan lebih luas untuk mengetahui kebutuhan klien. Kehangatan juga dapat dikomunikasikan secara nonverbal. Penampilan yang tenang, suara yang meyakinkan, dan pegangan tangan yang halus menunjukkan rasa belas kasihan atau kasih saying perawat kepada klien.
2.4.3. Fase-Fase Hubungan Terapeutik
1. Fase Pra-interaksi Perawat dengan Klien
- Mengumpulkan data tentang klien
- Mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan diri
- Menganalisa kekuatan professional diri dan keterbatasan
- Membuat rencana pertemuan dengan klien (kegiatan, waktu, tempat)
2. Orientasi
- Memberikan salam dan tersenyum pada klien
- Memperkenalkan diri dan menanyakan nama klien
- Melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif) pada pertemuan berikutnya
- Menentukan mengapa klien mencari pertolongan
- Menyediakan kepercayaan, penerimaan, dan komunikasi terbuka
- Membuat kontrak timbal balik
- Mengeksplorasi perasaan klien, pikiran dan tindakan
- Mengidentifikasi masalah klien
- Mendefinisikan tujuan dengan klien
- Menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan
- Menjelaskan kerahasiaan
3. Kerja
- Memberikan kesempatan klien untuk bertanya
- Menanyakan keluhan utama/keluhan yang mungkin berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan
- Memulai kegiatan dengan cara yang baik
- Melakukan kegiatan sesuai dengan rencana
4. Terminasi
- Menciptakan realitas perpisahan
- Menyimpulkan hasil kegiatan: evaluasi hasil dan proses
- Saling mengeksplorasi perasaan penolakan, kehilangan, sedih, marah dan perilaku lain.
- Memberikan reinforcement positif
- Merencanakan tindak lanjut dengan klien
- Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu, tempat, topic)
- Mengakhiri kegiatan dengan baik
2.4.4. Sikap Perawat dalam Berkomunikasi
Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi dengan klien. Perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam berkomunikasi.
Kehadiran diri secara fisik
Egan (1975), dikutip oleh Kozier dan Erb, 1983; 372) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu:
1. Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah “saya siap membantu mengatasi masalah anda”.
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Sikap ini juga dapat menciptakan perasaan nyaman bagi klien.
3. Membungkuk kea rah klien. Posisi ini menunjukkan kepedulian dan keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang dialami klien.
4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat ini meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan lainnya.
5. Tetap relaks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon terhadap klien. Sikap ini terutama sangat bermanfaat bila klien dalam kondisi stress atau emosi yang labil dalam merespon kondisi sakitnya.
Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku nonverbal yang perlu dipelajari pada setiap tindakan keperawatan.
Kehadiran Diri Secara Psikologis
Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yaitu dimensi respond an dimensi tindakan (Truax, Carkhoff dan Benerson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 126).
Dimensi Respon
Dimensi respon merupakan sikap perawat secara psikologis dalam berkomunikasi kepada klien. Dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan klien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus dipertahankan sampai pada akhir hubungan.
Keikhlasan
Sikap ikhlas perawat dapat dinyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan dan berperan aktif dalam berhubungan dengan klien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya dan spontan. Perawat bertindak sepenuh hatinya sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya.
Menghargai
Perawat menerima klien apa adanya. Sikap perawat harus tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek dan tidak menghina. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui: duduk diam bersama klien yang menangis, minta maaf atas hal yang tidak disukai klien dan menerima permintaan klien untuk tidak menanyakan pengalaman tertentu. Sikap ini secara psikologis dapat menimbulkan perasaan nyaman dan peningkatan harga diri bagi klien.
Empati
Empati merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan klien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan klien, merasakan melalui perasaan klien dan kemudian mengidentifikasikan masalah klien serta membantu klien mengatasi masalah tersebut. Melalui penelitian, Mansfield (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 129) mengidentifikasi perilaku verbal dan nonverbal yang menunjukkan tingkat empati yang tinggi sebagai berikut:
- Memperkenalkan diri pada klien
- Kepala dan badan membungkuk kea rah klien
- Respon verbal terhadap pendapat klien, khususnya pada kekuatan dan sumber daya klien
- Kontak mata dan berespon pada tanda nonverbal klien misalnya nada suara, gelisah, ekspresi wajah
- Tunjukkan perhatian, minat, kehangatan, melalui ekspresi wajah
- Nada suara konsisten dengan ekspresi wajah dan respon verbal.
Konkrit
Perawat menggunakan istilah yang khusus dan jelas, bukan yang abstrak. Hal ini perlu untuk menghindarkan keraguan dan ketidakjelasan selama komunikasi. Sikap ini mempunyai tiga kegunaan, yaitu:
- Mempertahankan respon perawat terhadap perasaan klien
- Member penjelasan yang akurat oleh perawat
- Mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik.


Dimensi Tindakan
Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pengertian. Perawat senior sering segera masuk dimensi tindakan tanpa membina hubungan yang adekuat sesuai dengan dimensi respon. Dimensi respon membawa klien pada tingkat pemilikan diri yang tinggi dan kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan.
Dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emotional chatersis dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1987; 131 dalam Mundakir 2006)
1. Konfrontasi
Konfrontasi merupakan ekspresi perasaan perawat tentang perilaku klien yang tidak sesuai. Carkhoff (dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 131), mengidentifikasi 3 kategori konfrontasi, yaitu:
Ketidaksesuaian antara konsep diri klien (ekspresi klien tentang dirinya) dan ideal diri klien (keinginan klien)
Ketidaksesuaian antara ekspresi nonverbal dan perilaku klien
Ketidaksesuaian antara pengalaman klien dan pengalaman perawat.
Konfrontasi berguna untuk meningkatkan kesadaran klien terhadap kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku. Konfrontasi dilakukan secara asertif, bukan marah atau agresif. Sebelum melakukan konfrontasi perawat peril mengkaji antara lain: tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat kecemasan klien, dan kekuatan koping klien. Konfrontasi sangat diperlukan pada klien yang telah mempunyai kesadaran diri tetapi perilakunya belum berubah.
2. Kesegeraan
Kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat-klien saat ini. Perawat sensitive terhadap perasaan klien dan berkeinginan membantu dengan segera. Tindakan perawat untuk segera berespon terhadap keluhan klien menimbulkan perasaan tentang klien dan keluarganya. Hal ini sangat penting terutama kepada klien atau keluarganya. Hal ini sangat penting terutama kepada klien atau keluarganya yang mudah panik terhadap perubahan yang dialami klien.
3. Keterbukaan
Perawat harus terbuka dalam memberikan informasi tentang dirinya, ideal diri, perasaan, sikap dan nilai yang dianutnya. Perawat membuka diri tentang pengalaman yang berguna untuk terapi klien. Tukar pengalaman ini member keuntungan pada klien untuk mendukung kerjasama dan member sokongan. Perawat yang pelit informasi dan miskin komunikasi dengan klien akan menghambat berlangsungnya tindakan keperawatan dengan baik. Klien akan membatasi diri bahkan cenderung tidak cooperatif dengan tindakan yang dilakukan perawat. Melalui penelitian ditemukan bahwa peningkatan keterbukaan antara perawat-klien dapat menurunkan tingkat kecemasan perawat-klien (Johnson, dikutip oleh Stuart dan Sundeen, 1987; 134).
4. Emotional Chatarsis
Emotional chartasis terjadi jika klien diminta bicara tentang hal yang sangat mengganggu dirinya. Ketakutan, perasaan dan pengalaman dibuka dan menjadi topic diskusi antara perawat-klien. Perawat harus dapat mengkaji kesiapan klien mendiskusikan masalahnya. Jika klien mengalami kesukaran mengekspresikan perasaannya, perawat dapat membantu dengan mengekspresikan perasaannya jika berada pada situasi klien.
5. Bermain Peran
Bermain peran adalah melakukan pada situasi tertentu. Hal ini berguna untuk meningkatkan kesadaran dalam berhubungan dan kemampuan melihat situasi dari pandangan orang lain. Bermain peran menjembatani antara pikiran serta perilaku dank lien akan merasa bebas mempraktikkan perilaku yang baru pada lingkungan yang aman.
2.4.5. Teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam menanggapi pesan yang disampaikan klien, perawat dapat menggunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik sebagai berikut (Stuart dan Sudeen, 1987; 124 dalam Mundakir 2006):

Mendengar
Merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien, memberi kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.dengan tetap kritis dan korektif bila apa yang disampaikan klien perlu diluruskan. Tujuan teknik ini adalah memberi rasa aman klien dalam mengungkapkan perasaannya dan menjaga kestabilan emosi/psikologis klien.
Pertanyaan Terbuka
Teknik ini member kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya sesuai kehendak klien tanpa membatasi, agar klien merasa aman dalam mengungkapkan perasaannya, perawat dapat memberi dorongan dengan cara mendengar atau mengatakan “saya mengerti apa yang saudara katakan”
Mengulang
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti pembicaraan klien.
Klarifikasi
Dilakukan bila perawat ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau klien berhenti karena malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah.
Refleksi
Refleksi merupakan reaksi perawat-klien selama berlangsungnya komunikasi. Refleksi ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Refleksi isi, bertujuan memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang diekspresikan klien dengan pengertian perawat, dan Refleksi perasaan, yang bertujuan member respon pada perasaan klien terhadap isi pembicaraan agar klien mengetahui dan menerima perasaannya.
Teknik refleksi ini berguna untuk:
Mengetahui dan menerima ide dan perasaan
Mengoreksi
Memberi keterangan lebih jelas
Sedangkan kerugiannya adalah:
Mengulang terlalu sering tema yang sama
Dapat menimbulkan marah, iritasi dan frustasi
Memfokuskan
Membantu klien bicara pada topik yang telah dipilih dan yang penting serta menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yaitu lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas.
Membagi Persepsi
Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan. Dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi informasi.
Identifikasi Tema
Mengidentifikasi latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting.
Diam
Cara yang sukar, biasanya dilakukan setelah mengajukan pertanyaan, tujuannya untuk memberi kesempatan berfikir dan memotivasi klien untuk bicara. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti perawat menerima klien. Teknik ini memberikan waktu pada klien untuk berfikir dan menghayati, memperlambat tempo interaksi, sambil perawat menyampaikan dukungan, pengertian, dan penerimaannya. Diam juga memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri dan berguna pada saat klien harus mengambil keputusan.
Memberi informasi)
Teknik ini bertujuan memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan bagi klien, misalnya perawat menjelaskan tentang penyebab sakit yang dialami klien.

Saran
Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.
Humor
Humor bisa mempunyai beberapa fungsi dalam hubungan terapeutik. Florence Nightingale dalam Anonymous (1999) pernah mengatakan bahwa suatu pengalaman pahit sangat baik ditangani dengan humor. Humor dapat meningkatkan kesadaran mental dan kreativitas, serta menurunkan tekanan darah dan nadi (Anonymous, 1999). Tidak ada aturan kapan, bagaimana, dan dimana humor seharusnya digunakan. Dalam hubungan terapeutik penggunaannya bergantung pada kualitas hubungan (Stuart, G.W., 1998). Dalam beberapa kondisi berikut humor mungkin bisa dilakukan:
Pada saat klien mengalami kecemasan ringan sampai sedang, humor mungkin bisa menurunkan kecemasan klien.
Jika relevan dan konsisten dengan sosial budaya klien.
Membantu klien mengatasi masalah lebih efektif.
Perawat perlu menganalisis teknik yang tepat pada setiap berkomunikasi dengan klien, karena ketidaktepatan menggunakan teknik dalam berkomunikasi dapat berpengaruh terhadap proses dan keberhasilan komunikasi. Informasi yang akurat dapat disampaikan melalui komunikasi verbal, namun aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan seluruhnya melalui verbal.dalam hal ini dibutuhkan kemampuan perawat untuk menghadirkan diri, menggunakan teknik komunikasi secara tepat dan pemahaman terhadap respon emosional klien.
Dengan mengerti proses komunikasi dan mempunyai berbagai keterampilan berkomunikasi, perawat diharapkan mampu menggunakan dirinya secara utuh (verbal dan nonverbal) dalam member efek terapeutik pada klien.
Memberikan Pujian
Seseorang akan cenderung berinteraksi apabila ia merasa interaksi tersebut menguntungkan, baik secara psikologis maupun ekonomis (Rahmat, J., 1996). Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis yang didapatkan klien ketika berinteraksi ketika berinteraksi dengan perawat. Reinforcement berguna untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan perilaku klien (Geldard, D., 1998). Reinforcement bisa diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui isyarat nonverbal. Isyarat nonverbal bisa disampaikan dengan memberikan acungan jempol ketika klien melakukan sesuatu yang menurut perawat merupakan perubahan positif. Reinforcement ini banyak membantu membantu dalam menyembuhkan klien dengan harga diri rendah, menarik diri, dan juga depresi.

III. Penutup
Hubungan terapeutik adalah suatu proses merespons dengan tanggung jawab, tanggung jawab yang dimulai dengan konfrontasi, pengertian dan afirmasi diri dan kehidupan individu; yang membutuhkan komitmen bagi perkembangan potensial dan kemungkinan pribadi, sehingga kita dapat menolong yang lain memenuhi kehidupan mereka dengan diperkaya, diperluas dan pribadi yang terpilih. Hal ini adalah tanggung jawab yang membutuhkan keyakinan dalam diri sendiri dan dalam kehidupan keperawatan, keyakinan rasional yang telah berasal dari keseimbangan pengetahuan, keahlian dan sikap, dan berasal dari keterbukaan hati dan pikiran melalui pencarian, penelitian dan pembaharuan.
Perawat adalah seorang yang profesional yang pertama dari semua kehidupan pribadi dengan tujuan khusus yang bertujuan menciptakan keperawatan dengan cara yang sedemikian rupa yang memicu penyembuhan, menginspirasi harapan, membantu manusia menemukan arti pada kehidupan dan menjelang ajal. Perawat hadir pada kaitan dengan orang lain, keluarga, atau komunitas. Hubungan terapeutik dapat berupa satu-satu, satu dengan keluarga, satu dengan komunitas atau kenyataannya bias menjadi komunitas perawat dengan komunitas manusia. Ini merupakan hubungan ketika waktu aktual keterlibatan pada hubungan tersebut menjadi kurang bermakna dibanding pengalaman integritas dan kualitas. Hal ini merupakan tindakan kolaboratif dengan yang lainnya, hubungan terhadap intensitas, pribadi dan saham professional, suatu komitmen kepada orang lain tentang penghargaan terhadap kehidupan dan menjelang ajal. Merupakan esensi manifestasi manusia terhadap cinta “manusia”.



Daftar Pustaka:
Buku:
Anonymous, 1999, Someday we’ll laugh about this, Nursing Management: 30 (45-47)
Basford, Lynn & Oliver Slevin, 2006, Teori &Praktek Keperawatan (Pendekatan Integral pada Asuhan Pasien), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Copel, Linda Carmen, 2007, Kesehatan Jiwa & Psikiatri (Pedoman Klinis Perawat), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Geldard D, 1998, Basic Personal Councelling: A Training Manual for Counsellors, ed ke-3. New South Wales, Erskineville.
King, I, M, 1981, A Theory for Nursing: System, Concepts, Process, New York: John Wiley & Sons, Inc
Liliweri, Alo, 2007, Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Roger, B, Ellis dkk, 2000, Komunikasi Interpersonal dalam Keperawatan, Jakarta, EGC.
Rogerrs, C, R, 1951, Client Centered Therapy, Boston: Houghton Mifttin Company.
Rahmat, J, 1996, Psikologi Komunikasi, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Stuart, G.W. 1998, Therapeutic Nurse-Patient Relationship dalam Stuart, G.W. & Sundee, S.J. 1998. Principle and Practice of Psyciatric Nursing. Ed ke-6. St. Louis, Mosby Year Book.
Suryani, 2006, Komunikasi Terapeutik Teori dan Praktek, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Uripni, Christina Lia, dkk, 2003, Komunikasi Kebidanan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Internet:
http://victor-health.blogspot.com/2007/11/gangguan-jiwa-afektif-tertinggi-di.html, akses 22 Maret 2009.
http://www.geocities.com/almarams/MentDis_What.htm, akses 22 Maret 2009.
http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2005/8/3/k4.htm, akses 24 2009 (litbang)

Minggu, 07 Juni 2009

UU Perfilman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NO.8 TAHUN 1992
TENTANG
PERFILMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:
bahwa Film sebagai media komunikasi massa pandangdengar mempunyai peranan penting bagi pengembangan budaya bangsa sebagai salah satu aspek peningkatan ketahanan nasional dalam pembangunan nasional,
bahwa perfilman yang merupakan rangkaian kegiatan yang mendukung peranan film tersebut di atas memerlukan sarana hukum dan upaya yang lebih memadai bagi pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia;
bahwa Filmordonnantie 1940 (Staatsblad 1940 No. 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) sudah tidak lagi memenuhi tuntutan perkembangan keadaan dan kebutuhan bagi pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia;
bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu mengatur perfilman dalam Undang-undang;

Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 32, dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:.
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERFILMAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya;
Perfilman adalah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan, pengedaran, pertunjukan, dan/atau penayangan film;
Jasa teknik film adalah penyediaan jasa tenaga profesi, dan/atau peralatan yang diperlukan dalam proses pembuatan film serta usaha pembuatan reklame film;
Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.

BAB II
DASAR, ARAH, DAN TUJUAN

Pasal 2
Penyelenggaraan perfilman di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3
Sesuai dengan dasar penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, perfilman di Indonesia diarahkan kepada:
pelestarian dan pengembangan nilai budaya bangsa;
pembangunan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan harkat dan martabat manusia;.
pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
peningkatan kecerdasan bangsa;
pengembangan potensi kreatif di bidang perfilman;
keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis usaha perfilman;
terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;
penyajian hiburan yang sehat sesuai dengan norma-norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dengan tetap berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata, asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri sendiri.

Pasal 4
Perfilman di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memelihara dan mengembangkan budaya bangsa dengan tujuan menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional.

BAB III
FUNGSI DAN LINGKUP

Pasal 5
Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi.

Pasal 6
Lingkup Undang-undang ini meliputi seluruh film, kecuali film berita yangditayangkan melalui media elektronik.

Pasal 7
(1) Film merupakan karya cipta seni dan budaya yang dilindungi berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
(2) Film terikat kewajiban serah simpan berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.


BAB IV.USAHA PERFILMAN
Bagian Pertama
Umum

Pasal 8
(1) Usaha perfilman dilaksanakan atas asas usaha bersama dan kekeluargaan serta asas adil dan merata guna mencegah timbulnya pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu tangan atau satu kelompok.
(2) Usaha perfilman meliputi:
a. pembuatan film;
b. jasa teknik film;
c. ekspor film;
d. impor film;
e. pengedaran film;
f. pertunjukan dan/atau penayangan film.

Pasal 9
(1) Usaha perfilman di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia dalam bentuk badan usaha yang berstatus badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang usaha perfilman.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin usaha perfilman.
(3) Izin usaha perfilman berlaku selama badan usaha yang bersangkutan masih melakukan kegiatan di bidang perfilman.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara untuk memperoleh izin usaha perfilman diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10
Usaha perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan kode etik yang disusun dan ditetapkan oleh masyarakat perfilman sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan perfilman.

Pasal 11.
Dalam melakukan kegiatan, perusahaan perfilman wajib menggunakan kemampuan nasional yang telah tersedia.

Pasal 12
(1) Dalam rangka pengembangan perfilman Indonesia, perusahaan perfilman dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing atas dasar izin.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kerjasama dalam pembuatan film, termasuk penyediaan jasa tertentu di bidang teknik film, ataupun penggunaan artis dan karyawan film asing.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam.ayat (1) dan ayat (2), termasuk syarat dan tata cara memperoleh izin kerjasama, diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedua
Pembuatan Film

Pasal 13
(1) Pembuatan film didasarkan atas kebebasan berkarya yang bertanggung jawab.
(2) Kebebasan berkarya dalam pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman dengan memperhatikan kode etik dan nilai-nilai keagamaan yang berlaku di Indonesia.

Pasal 14
(1) Usaha pembuatan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Pembuatan film untuk tujuan khusus dikecualikan dari ketentuan dalam ayat (1).
(3) Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dapat dilakukan atas dasar izin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15.
(1) Pembuatan reklame film dapat dilakukan, baik oleh perusahaan pembuatan film atau perusahaan lain yang bergerak di bidang reklame film maupun oleh perseorangan.
(2) Pembuatan reklame film dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) serta memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang direklamekan.

Pasal 16
Dalam pembuatan film, artis dan karyawan film berhak mendapatkan jaminan sosial dan perlindungan hukum lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehubungan dengan kegiatan dan peran yang dilakukan berdasarkan perjanjian kerja yang dibuatnya dengan perusahaan pembuatan film.

Bagian Ketiga
Jasa Teknik Film

Pasal 17
Usaha jasa teknik film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan jasa teknik film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 18
Usaha jasa teknik film meliputi:
studio pengambilan gambar;
sarana pembuatan film;
laboratorium pengolahan film;
sarana penyuntingan film;
sarana pengisian suara film;
sarana pemberian teks film;
sarana pencetakan/penggandaan film;
sarana lainnya yang mendukung pembuatan film.


Bagian Keempat
Ekspor Film

Pasal 19
Usaha ekspor film dapat dilakukan oleh perusahaan ekspor film atau perusahaan pembuatan film atau perusahaan pengedar film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kelima
Impor Film

Pasal 20
Usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan impor film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21
(1) Impor film merupakan pelengkap untuk memenuhi keperluan pertunjukan dan penayangan film di dalam negeri yang jumlahnya harus seimbang dengan peningkatan produksi film Indonesia.
(2) Film impor isinya harus bermutu baik dan selaras dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman serta memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan norma-norma yang berlaku di Indonesia.

Pasal 22
Impor film dilakukan melalui kantor pabean di tempat kedudukan lembaga sensor film.

Pasal 23
(1) Film yang dimasukkan ke Indonesia oleh perwakilan diplomatik atau badan-badan internasional yang diakui Pemerintah hanya diperuntukkan bagi kepentingan perwakilan yang bersangkutan dan tidak dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, kecuali atas dasar izin.
(2) Film yang dimasukkan ke Indonesia untuk tujuan khusus hanya dapat dilakukan berdasarkan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan film, syarat, dan tata cara untuk memperoleh izin pertunjukan dan/atau penayangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Keenam.Pengedaran Film

Pasal 24
Usaha pengedaran film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pengedar film dan perusahaan pembuatan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 25
Film yang dapat diedarkan hanya film yang telah dinyatakan lulus sensor oleh lembaga sensor film.

Pasal 26
(1) Kegiatan pengedaran film dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai keagamaan dan sosial budaya yang hidup di kalangan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
(2) Pengaturan mengenai pengedaran film sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Bagian Ketujuh
Pertunjukan dan Penayangan Film

Pasal 27
(1) Usaha pertunjukan film hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pertunjukan film yang memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(2) Usaha penayangan film hanya dapat dilakukan olch perusahaan penayangan film yang memiliki izin usaha perfilman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 28
(1) Pertunjukan film hanya dapat dilakukan dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi pertunjukan film.
(2) Pertunjukan film, selain di tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan bukan oleh perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), hanya dapat dilakukan untuk tujuan tertentu.
(3) Penayangan film dilakukan melalui stasiun pemancar penyiaran atau perangkat clektronik lainnya yang khusus ditujukan untuk menjangkau khalayak pemirsa.
(4) Ketentuan mengenai pertunjukan dan penayangan film sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah..

Pasal 29
(1) Pertunjukan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton yang telah ditetapkan bagi film yang bersangkutan.
(2) Penayangan film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), dilakukan dengan memperhatikan ketentuan penggolongan usia penonton yang penayangannya disesuaikan dengan waktu yang tepat.

Pasal 30
Pertunjukan dan penayangan reklame film selain memperhatikan ketentuan Pasal 29, harus memperhatikan kesesuaiannya dengan isi film yang direklamekan.

Pasal 31
(1) Pemerintah dapat menarik suatu film apabila dalam peredaran dan/atau pertunjukan dan/atau penayangannya ternyata menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau' keselarasan hidup masyarakat.
(2) Produser atau pemilik film yang terkena tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat melakukan pembelaan melalui saluran hukum.

Pasal 32
Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), hanya dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan untuk masyarakat apabila:
telah lulus sensor;
tidak dipungut bayaran.

BAB V
SENSOR FILM

Pasal 33
(1) Untuk mewujudkan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, setiap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan wajib disensor.
(2) Penyensoran dapat mengakibatkan bahwa sebuah film:
a. diluluskan sepenuhnya;
b. dipotong bagian gambar tertentu;.c. ditiadakan suara tertentu;
c. ditolaknya seluruh film; untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan.
(3) Sensor film dilakukan, baik terhadap film dan reklame film yang dihasilkan oleh perusahaan pembuatan film maupun terhadap film impor.
(4) Film dan reklame film yang telah lulus sensor diberi tanda lulus sensor oleh lembaga sensor film.
(5) Selain tanda lulus sensor, lembaga sensor film juga menetapkan penggolongan usia penonton bagi film yang bersangkutan.
(6) Film, reklame film, atau potongannya yang ditolak oleh lembaga sensor film dilarang diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan/atau penegakan hukum.
(7) Terhadap film yang ditolak oleh lembaga sensor film, perusahaan film atau pemilik film dapat mengajukan keberatan atau pembelaan kepada badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman.

Pasal 34
(1) Penyensoran film dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dilakukan oleh sebuah lembaga sensor film.
(2) Penyelenggaraan sensor film dan reklame film dilakukan berdasarkan pedoman dan kriteria penyensoran.
(3) Pembentukan, kedudukan, susunan keanggotaan, tugas, dan fungsi lembaga sensor film, serta pedoman dan kriteria penyensoran diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VI
PERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 35
(1) Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam berkreasi, berkarya, dan berusaha di bidang perfilman.
(2) Peranserta warga negara dan/atau kelompok masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan dan pengembangan mutu perfilman, kemampuan profesi insan perfilman, apresiasi masyarakat, dan penangkalan berbagai pengaruh negatif di bidang perfilman nasional..


BAB VII
PEMBINAAN PERFILMAN

Pasal 36
(1) PemerinLah melakukan pembinaan dan pembimbingan yang diperlukan dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi perkembangan perfilman.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap perfilman Indonesia untuk:
a. mewujudkan iklim usaha yang mampu meningkatkan kemampuan produksi dan mutu perfilman;
b. menghindarkan persaingan yang tidak sehat dan mencegah timbulnya pemusatan dan penguasaan usaha perfilman pada satu tangan atau satu kelompok yang merugikan usaha dan perkembangan perfilman pada umumnya;
c. melindungi pertumbuhan dan perkembangan perfilman Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya;
d. menjaga agar perkembangan perfilman Indonesia dapat tetap berjalan sesuai dengan arah penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
e. meningkalkan sumber daya masyarakat perfilman yang profesional melalui pendidikan, sarana, dan prasarana perfilman sehingga tercipta suasana yang mendorong meningkatnya kreativitas yang mampu melahirkan karya film yang bermutu.

Pasal 37
(1) Dalam rangka pembinaan perfilman, Pemerintah membentuk badan yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam masalah perfilman sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan serta memberikan putusan atas keberatan terhadap film yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (7).
(2) Susunan keanggotaan badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari unsur Pemerintah, masyarakat perfilman, para ahli di bidang pendidikan, kebudayaan, agama, dan perfilman, serta wakil organisasi perfilman dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang dipandang perlu.
(3) Ketentuan mengenai pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan keanggotaan badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.


BAB VIII.PENYERAHAN URUSAN

Pasal 38
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan di bidang perfilman kepada Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan mengenai penyerahan sebagian urusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


BAB IX
PENYIDIKAN

Pasal 39
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perfilman sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perfilman;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perfilman;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perfilman;
d. memeriksa orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
e. melakukan pemeriksaan atas alat-alat atau bahan dan barang lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perfilman;
f. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perfilman;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perfilman..(3) Pelaksanaan lebih lanjut dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 40
Dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) :
a. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
b. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan potongan film dan/atau suara tertentu yang ditolak oleh lembaga sensor film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (6); atau
c. barang siapa dengan sengaja mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan dan/atau menayangkan film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

Pasal 41
(1) Dipidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) :
a. barang siapa melakukan usaha perfilman tanpa izin (usaha perfilman) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 17, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 24, dan Pasal 27; atau
b. barang siapa mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan atau menayangkan reklame film yang tidak disensor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1); atau
c. barang siapa melakukan kerjasama dengan perusahaan perfilman asing tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah sepertiga jika perusahaan perfilman yang tidak memiliki izin usaha perfilman, mengedarkan, mengekspor, mempertunjukkan, dan/atau menayangkan film dan/atau reklame film yang tidak memiliki tanda lulus sensor.

Pasal 42
(1) Atas perintah pengadilan, film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a dan b, disita untuk dimusnahkan, sedangkan film sebagaimana dimaksud dalam.Pasal 40 huruf c dan reklame film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf b, dapat disita untuk negara.
(2) Film dan reklame film yang disita untuk negara dapat disimpan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.

Pasal 43
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 adalah pelanggaran.

Pasal 44
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41, terhadap perusahaan/badan usaha yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11, Pasal 14 ayat (3), Pasal 15 ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 33 ayat (5) Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi denda dan/atau sanksi administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi administratif, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 45
Dengan berlakunya Undang-undang ini, segala peraturan pelaksanaan di bidang perfilman yang dikeluarkan berdasarkan Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) serta badan atau lembaga yang telah ada, tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 46
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 47.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1992
TENTANG
PERFILMAN


UMUM

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, rasa dan karsa bangsa lndonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa serta diarahkan untuk memberikan wawasan den makna pada pembangunan nasional dalam segenap kehidupan bangsa.
Budaya bangsa yang merupakan pencerminan nilai-nilai luhur bangsa terus dipalihara, dibina, dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, serta memporkokoh jiwa persatuan dan kesatuan. Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk rnampu memantapkan nilai-nilai budaya bangsa, menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional.
Dengan bertolak dari pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman bukan saja dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas produksi film Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga mengukuhkan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan. Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia sudah tidak memadai karena hanya mengatur segi-segi tertentu dalam kegiatan perfliman secara terpisah, yang seringkali tidak berkaitan satu dengan yang lain. Maka, berdasarkan hal tersebut, disusunlah Undang-undang tentang Perfilman.
Melalui Undang-undang ini, upaya pengaturan perfilman Indonesia diusahakan agar tidak saja menjangkau seluruh aspek perfilman, telapi juga diarahkan pada perwujudan tatanan kehidupan perfilman secara utuh. Pangaturan perfilman dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok- pokok pemikiran sebagai berikut :

1. Menegaskan secara jelas bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofis dan konstitusional yang merupakan panduan dalam menumbuhkan dan mengembangkan perfilman di Indonesia sehingga sebagai salah satu sarana pengembangan budaya bangsa, film tetap mampu memperkuat kebudayaan nasional dan mencerminkan pandangan hidup bangsa serta nilai budaya bangsa.
2. Tersusunnya landasan yuridis dan sosiologis yang mampu menjaga keseimbangan antara aspek idiil sebagaimana diarahkan oleh GBHN dan aspek ekonomi dalarn usaha perfilman yang dalam pengembangannya harus tetap sesuai dengan jiwa Pasai 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
3. Dalam upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonesia, pembinaan dan pengembangan perfilman dilakukan terhadap berbagai kegiatan perfilman secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan atau penayangan dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, melalui berbagai perizinan sehingga tercapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan perfilman. Termasuk dalam pembinaan dan pengembangan ini adalah upayamenciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah adanya tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat ataupun pemusatan pada satu tangan atau satu kelompok.
4. Untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat tetap berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan bangsa, serta melindungi masyarakat akan dampak negatif yang diakibatkan, maka setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan,dan/atau ditayangkan harus disensor terlebih dahulu
5. Mengingat dampak yang dapat diakibatkan oleh film, maka tindak pidana dibidang perfilman diberi sanksi yang cukup berat.

Dengan latar belakang pemikiran tadi, Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka 1
Yang termasuk film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar (audio-visual) dalam Undang-undang ini ialah :
a. yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi, yang lazim disebut film;
b. yang dibuat dengan bahan pita video atau piringan video melalui proses elektronik, yang lazim disebut rekaman video;
c. yang dibuat dengan baku lainnya atau melalui proses lainnya sebagai hasil perkembangan teknologi, dikelompokkan sebagai media komunikasi massa pandang-dengar..

Angka 2
Cukup jelas.

Angka3
Cukup jelas.

Angka 4
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Arah dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan agar perfilman
lndonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan fungsinya.
Dengan arah tersebut, perfilman Indonesia dibina dan dikembangkan sehingga
terhindar dari ciri-ciri yang merendahkan nilai budaya, mengganggu upaya
pembangunan watak dan kepribadian, memecah kesatuan dan persatuan bangsa,
mengandung unsur pertentangan antara suku, agama, ras, dan asal-usul, ataupun
menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan rasa kesusilaan pada umumnya.
Dengan arah itu pula, sebaiknya diupayakan agar potensi nasional di bidang
perfilman dapat berkembang dan maju dalam kerangka keserasian dan
keseimbangan usaha antar unsur perfilman pada umumnya.

Pasal 4
Film sebagai produk seni dan budaya mempunyai peranan yang penting bagi
pengembangan budaya bangsa; untuk itu, perlu terus dipelihara, dibina, dan
dikembangkan sehingga mampu menjadi salah satu sarana penunjang
pembangunan nasional.

Pasal 5
Undang-undang ini mengakui adanya fungsi-fungsi film tersebut sebagai kenyataan
dan keperluan. Lihat pula Penjelasan Umum.
Oleh karena itu, fungsi-fungsi tersebut dikembangkan secara seimbang.

Pasal 6
Yang dimaksud dengan film berita adalah rekaman kejadian/peristiwa aktual yang
dibuat dalam bentuk film dan ditayangkan melalui media elektronik. Pengaturan
lebih lanjut rnengenai film berita diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku..

Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang tentang Serah Simpan Karya
Cetak dan Karya Rekam, film merupakan salah satu jenis karya rekam yang salinan
rekamannya (copynya) wajib diserahkan kepada instansi/lembaga penyimpan yang
ditunjuk dalam undang-undang tersebut.

Pasal 8
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat 1
Pada hakikatnya, usaha perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan
terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman berskala kecil seperti usaha
pertunjukan film keliling dan usaha penjualan dan/atau penyewaan rekaman dalam
bentuk bahan pita video atau piringan video, disesuaikan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat 2
Izin usaha perfilman dimaksud adalah izin yang dikeluarkan oleh Menteri yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Cukup jelas.

Pasal 10.
Oleh karena banyaknya unsur yang terlibat dalam kegiatan perfilman dan eratnya
keterkaitan antara satu dengan yang lain, wajarlah apabila kegiatan masyarakat
perfilman itu berlandaskan kode etik yang harus ditaati bersama.
Hal ini penting karena terkaitnya aspek usaha dan aspek keahlian saling
melengkapi dan tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh ketentuan yang bersifat
formal.
Masyarakat perfilman adalah himpunan sekelompok warga negara Indonesia
berdasarkan kesamaan profesi dan/atau kegiatan di bidang perfilman.
Kode etik adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh masyarakat
perfilman secara tertulis sebagai landasan dan ukuran tingkah laku yang harus
dipatuhi oleh insan perfilman dalam menjalankan profesinya masing-masing.

Pasal 11
Yang dimaksud dengan kemampuan nasional adalah sumberdaya, baik manusia,
potensi, maupun fasilitas yang tersedia di Indonesia.
Sumber daya rnanusia, antara lain, terdiri dari produser, karyawan film, dan artis
film. Potensi dan fasilitas, antara lain, dapat berupa kekayaan dan keindahan alam,
jasa teknik, dan hasil budaya bangsa.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Perusahaan perfilman rnenghargai, ikut memiliki,
serta ikut memelihara dan mencintai kemampuan nasional yang tersedia.

Pasal 12
Ayat 1
Sekalipun ketentuan ini tidak memberikan kesempatan kepada warga negara asing,
tidak tertutup kemungkinan adanya kerjasama di bidang pembuatan film atau
kegiatan lainnya, yang pada dasarnya tidak dajam arti membentuk perusahaan
patungan.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat 1
Yang dimaksud dengan kebebasan berkarya adalah kebebasan untuk menghasilkan
karya.berdasarkan kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa, ataupun karsa, baik
dalam bentuk, makna, ataupun caranya. Dengan kebebasan berkarya, diharapkan
mampu mengembangkan kreativitas perfilman dalam rangka pengembangan
budaya bangsa.
Yang dimaksud dengan bertanggung jawab adalah mengacu pada akibat yang
ditimbulkan oleh hasil karya tersebut dalam kaitannya dengan arah dan tujuan
penyelenggaraan perfilman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4..Ayat 2
Yang dimaksud dengan nilai-nilai keagamaan adalah nilai-nilai universal yang
terdapat dalam satiap agama. Pencantuman nilai-nilai keagamaan itu tidak
dimaksudkan untuk menghambat kreativitas dalam berkarya sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1.

Pasal 14
Ayat 1
Yang dimaksud dengan pembuatan film meliputi kegiatan rnembuat film
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, baik dalam bentuk film cerita
maupun film noncerita.
Ayat 2
Film untuk tujuan khusus adalah film yang dibuat oleh instansi Pemerintah
lembaga, atau organisasi dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya: seperti
film-film penyuluhan pertanian, kesehatan, atau film yang dibuat oleh kelompok
orang atau perseorangan; misalnya, film-film acara perkawinan dan ulang tahun.
Ayat 3
Pembuatan film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia, baik
sebagian maupun seluruhnya dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman. Dalam
pembuatan film dimaksud, diusahakan sedapat mungkin untuk mengikutsertakan
tenaga-tenaga Indonesia di tempat lokasi.
Ayat 4
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat 1
Yang dimaksud dengan reklame film adalah sarana publikasi dan promosi film, baik
yang berbentuk iklan, poster, stillphoto, slide, klise, trailer, banner, pamflet,
brosur, ballyhoo, folder, plakat maupun sarana publikasi dan promosi lainnya.
Pembuatan reklame film dilakukan oleh perusahaan pembuatan film atau
perusahaan lain yang bergerak di bidang reklame film.
Mengingat beberapa jenis dan bentuk reklame film pada kenyataannya dibuat oleh
perseorangan berdasarkan keahlian, pembuatan reklame film dapat pula dilakukan
oleh usaha-usaha berskala kecil ataupun perseorangan.
Ayat 2.Pembuatan reklame film wajib memperhatikan kesesuaian isi film yang
direklamekan., dimaksudkan agar masyarakat benar-benar dapat menikmati film
yang isinya sesuai dengan reklame film yang bersangkutan.

Pasal 16
Artis film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan dari kegiatan yang
berhubungan dengan pemeranan tokoh-tokoh dalam cerita film.
Karyawan film adalah tenaga profesi yang mendapatkan penghasilan karena
melakukan karya kreatif dan artistik dalam pembuatan film dan reklame film.
Hubungan hukum antara artis dan karyawan film dengan perusahaan pembuatan
film dilakukan berdasarkan perjanjian kerja di antara mereka.
Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai perlunya jaminan dan
perlindungan hukum, seperti jaminan sosial dan asuransi bagi artis dan karyawan
yang berkenaan dengan hal-hal yang bertalian dengan segi-segi profesi ataupun
peran yang dimainkannya. Dengan demikian setiap perjanjian kerja antara artis
atau karyawan dan perusahaan pembuatan film harus memuat tentang jaminan
sosial tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun bentuk perlindungan hukum lainnya, misalnya, apabila seorang artis
marasa bahwa peran dalam, suatu adegan bukanlah karya yang dimainkannya dan
hal tersebut dinilainya merugikan dirinya secara profesi atau moral, maka artis
yang bersangkutan dapat melakukan tuntutan berdasarkan perjanjian kerja yang
dimilikinya.

Pasal 17
Pada dasarnya, usaha jasa teknik dilakukan oleh perusahaan jasa teknik, namun
perusahaan pembuatan film dapat pula melakukan usaha jasa teknik untuk film
produksinya sandiri.

Pasal 18
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan laboratorium pengolahan film adalah tempat memproses
pita seluloid yang telah berisi rekaman gambar (exposed) sehingga menjadi film
negatif induk.
Huruf d
Cukup jelas..Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan pencetakan film adalah perbanyakan dari film negatif induk
menjadi sejumlah salinan rekaman (copy) positif.
Penggandaan film adalah perbanyakan pita video atau piringan video dan/atau hasil
penemuan teknologi lainnya.
Huruf h
Pencantuman sarana lainnya di sini dimaksudkan untuk menampung
perkembangan usaha jasa teknik pada masa yang akan datang sesuai dengan
perkembangan teknologi.

Pasal 19
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran ekspor
film yang sudah lulus sensor, baik oleh perusahaan ekspor maupun olah
perusahaan yang membuatnya atau perusahaan yang berusaha di bidang
pengedaran film.
Di samping memenuhi ketentuan perizinan di bidang perfilman, perusahaan
tersebut tetap harus memenuhi ketentuan perizinan untuk ekspor.

Pasal 20
Berbeda dengan usaha ekspor film, usaha impor film hanya dapat dilakukan oleh
perusahaan impor yang memiliki izin usaha perfilman. Hal ini disebabkan karena
impor hanya dilakukan atas dasar pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21.

Pasal 21
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Dengan mengimpor film yang bermutu baik dan selaras dengan arah dan tujuan
perfilman diharapkan dapat merangsang partumbuhan produksi dan peningkatan
mutu film Indonesia.

Pasal 22.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan di tempat kedudukan lembaga sensor
film adalah di lbukota Negara Republik Indonesia.\

Pasal 23
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Yang dimaksud dengan film untuk tujuan khusus adalah film untuk tujuan tertentu
seperti film pendidikan, film instruksi, film untuk keperluan seminar, atau festival
yang tidak bersifat komersial.
Ayat 3
Cukup jelas.

Pasal 24
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran
pengedaran film secara langsung oleh perusahaan pembuatan film untuk
produksinya sendiri. Yang dimaksud dengan pengedaran meliputi kegiatan
penyebarluasan film dan reklame film kepada konsumen.

Pasal 25
Film yang dimaksud meliputi film dan reklame film, baik hasil produksi perusahaan
pembuatan film dalam negeri maupun film impor.

Pasal 26
Ayat 1
Ketentuan ini dimaksudkan agar film yang diedarkan tidak menimbulkan dampak
negatif yang terkait dengan nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat di daerah yang bersangkulan.
Ayat 2
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat 1
Pertunjukan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita seluloid yang dilakukan
melalui projektor mekanik dalam gedung atau tempat yang diperuntukkan bagi
pertunjukan film..
Ayat 2
Penayangan film adalah pemutaran film dalam bentuk pita seluloid, pita video, dan
piringan video yang dilakukan melalui proyektor elektronik dari stasiun pemancar
penyiaran dan/atau perangkat elektronik lainnya.

Pasal 28
Ayat 1
Gedung yang dibangun untuk pertunjukan film lazim disebut gedung bioskop. Yang
dimaksud dengan tempat adalah ruang yang bukan gedung, yang diperuntukkan
bagi pertunjukan film.
Ayat 2
Ketentuan ini lebih bersifat kelonggaran yang diberikan bagi keperluan tertentu
seperti :
a. kegiatan sosial masyarakat, acara keluarga, acara
perkawinan, dan kegiatan lainnya untuk
penerangan/penyuluhan dan hiburan yang dilakukan oleh
Pemerintah atau badan-badan/organisasi lainnya dengan tidak
memungut bayaran;
b. pertunjukan film secara berkeliling dengan memungut
bayaran.
Ayat 3
Cukup jelas.
Ayat 4
Cukup jelas.

Pasal 29
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Pengaturan penayangan film sesuai dengan penggolongan usia penonton dilakukan
sesuai dengan waktu yang tepat dan diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Pasal 30
Cukup jelas..

Pasal 31
Ayat 1
Maksud ketentuan ini adalah untuk memungkinkan Pemerintah dapat menarik
suatu film dari peredaran, pertunjukan, dan/atau penayangan terhadap film yang
telah lulus sensor apabila film yang bersangkutan ternyata menimbulkan gangguan
keamanan, ketertiban, ketenteraman, atau keselarasan hidup masyarakat.
Ayat 2
Ayat ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada produser atau pemilik
film yang merasa dirugikan untuk membela haknya dengan mengaiukan gugatan
terhadap Pemerintah melalui peradilan.

Pasal 32
Untuk dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan bagi masyarakat Indonesia,
diperlukan izin dari departemen yang membidangi pembinaan perfilman.
Apabila pertunjukan dan/atau penayangan di luar lingkungan perwakilan asing,
diperlukan izin keramaian dan pertunjukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 33
Ayat 1
Film dan reklame film yang wajib disensor dalam ketentuan ini termasuk yang akan
ditayangkan oleh stasiun penyiaran televisi.
Pengertian reklame film rnencakup film iklan yang
mempublikasikan/mempromosikan barang dan jasa kepada khalayak.
Tujuan sensor film adalah untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak
negatif pertunjukan dan/atau penayangan film serta reklame film yang ternyata
tidak sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Penyensoran terhadap film dan reklame film, baik produksi nasional (termasuk
yang akan diekspor) maupun film impor, diperlakukan dengan pedoman dan
kriteria penyensoran yang sama.
Ayat 4
Tanda lulus sensor, baik untuk film produksi nasional maupun film impor, diberikan
dengan cara dan bentuk yang sama yang akan diatur oleh lembaga sensor film..Ayat 5
Penggolongan usia penonton bagi suatu film dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari dampak negatif dalam rangka pembinaan keluarga.
Ayat 6
Film impor yang ditolak diumumkan di kantor lembaga sensor film. Film nasional
yang ditolak tidak diumumkan. Sebelum film itu ditolak, lembaga sensor film
memberikan kesempatan untuk memperbaiki film tersebut dan kemudian dapat
diajukan kembali untuk disensor.
Ayat 7
Pengajuan keberatan atau pembelaan terhadap film atau reklame film yang ditolak
oleh lembaga sensor hanya berlaku bagi perusahaan pembuatan film nasional.

Pasal 34
Ayat 1
Kata sebuah dalam ketentuan ini diartikan bahwa lembaga sensor merupakan
lembaga tunggal (satu-satunya) yang sifatnya nasional.
Ayat 2
Pedoman dan kriteria tersebut dimaksudkan selain untuk objektivitas penilaian juga
agar lembaga sensor mempunyai pegangan dalam melaksanakan tugasnya.
Ayat 3
Lembaga sensor film yang dibentuk oleh Pemerintah bersifat nonstruktural.
Susunan keanggotaannya terdiri dari wakil Pemerintah dan wakil masyarakat.

Pasal 35
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Wujud peran-serta masyarakat dalam pengembangan mutu dan kemampuan
profesi insan perfilman, misalnya dalam pembentukan lembaga pendidikan dan
kritik film. Bentuk peningkatan apresiasi masyarakat, misalnya festival film dan
pekan film.

Pasal 36
Ayat 1.Yang dimaksud dengan pembinaan adalah upaya yang dilakukan secara terus-menerus
dan berkesinambungan dalam arti yang seluas-luasnya terhadap kegiatan
perfilman.
Pembimbingan diberikan melalui berbagai kebijaksanaan dan upaya yang
mendorong pengembangan dan kemajuan perfilman Indonesia, seperti
meningkatkan manfaat keberadaan organisasi profesi perfilman, lembaga
pendidikan, pengarsipan film, festival film, kineklub, dan kegiatan lain yang yang
bertujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film.
Ayat 2
Tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan iklim dan suasana yang
menguntungkan segi pertumbuhan dan pengembangan bidang usaha perfilman ini
pada dasarnya berada pada Pemerintah.
Melalui pembinaan, Pemerintah mencegah timbulnya persaingan yang tidak sehat,
tidak jujur, atau curang dalam usaha perfilman sehingga perfilman Indonesia dapat
berkembang sesuai dengan arah pembinaannya.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan pembinaan usaha perfilman dilakukan oleh
Pemerintah secara seimbang, terpadu, dan terarah untuk mewujudkan arah dan
tujuan pembinaan perfilman.

Pasal 37
Ayat 1
Pembentukan badan yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini sebagai
penjabaran perlunya interaksi positif antara masyarakat perfilman, Pemerintah, dan
masyarakat pada umumnya. Badan ini bersifat nonstruktural dan berfungsi sebagai
pemberi pertimbangan yang berkenaan dengan masalah-masalah perfilman kepada
Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat 1
Sebagian urusan pemerintahan yang dapat diserahkan adalah terutama di bidang
pembinaan dan perizinan untuk usaha perfilman tertentu, misalnya izin usaha
perfilman di bidang pertunjukan dan/atau penayangan.
Apabila terjadi suatu film dapat menimbulkan gangguan keamanan, ketertiban,
ketenteraman, atau keselarasan kehidupan masyarakat di daerah tertentu,
Pemerintah Daerah dapat melarang film tersebut diedarkan, dipertunjukkan,
dan/atau ditayangkan diseluruh atau sebagian wilayah administratifnya setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari instansi yang terkait..Ayat 2
Cukup jelas.

Pasal 39
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Perlakuan terhadap film dan reklame film yang disita untuk negara cukup jelas
sedangkan film dan reklame film yang tidak disita untuk negara hanya dapat
diedarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan setelah lulus sensor serta
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 43
Ayat 1.Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.

Pasal 44
Ayat 1
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.

Pasal 45
Dalam pengertian ini termasuk segala izin yang telah dikeluarkan bgrdasarkan
peraturan pelaksanaan tersebut.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.
TATA TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK IND

Hambatan dan Kegagalan Komunikasi antara Orang Tua dan Anak

HAMBATAN DAN KEGAGALAN KOMUNIKASI KELUARGA ANTARA ORANG TUA DAN ANAK (Komunikasi Efektif dalam Perspektif Islam dan Psikologi)

Oleh: Sri Wahyuningsih*)

Dalam Hadits diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, “Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik.” Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baiknya hadiah dan perhiasan paling indah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya jauh lebih baik daripada dunia dan segala isinya (Rahman, 2005: 25).

I. LATAR BALAKANG
Tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Bahkan beberapa ahli komunikasi menyatakan bahwa tidak mungkinlah seseorang melakukan komunikasi yang sebenar-benarnya efektif. Ada banyak hambatan yang bisa menyebabkan komunikasi mengalami kegagalan (Effendy, 2003: 45).
Pola-pola komunikasi interpersonal mempunyai efek yang berlainan pada hubungan interpersonal. Tidak benar anggapan orang bahwa makin sering orang melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain, makin baik hubungan mereka. Yang menjadi soal adalah bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan. Tetapi bagaimana komunikasi itu dilakukan. Kita akan melihat bahwa dalam sebuah keluarga komunikasi itu sangat dibutuhkan, kurangnya berkomunikasi dengan anggota keluarga (orang tua dengan anak) dan bagaimana kita akan berkomunikasi dengan anggota keluarga kita, semua itu akan menentukan suatu keharmonisan hubungan antara anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang lain.
Dalam berkomunikasi, tidak lepas dari berbagai hambatan, hal ini disebabkan antara lain adanya gangguan baik yang berasal dari luar maupun dari diri orang yang sedang berkomunikasi. Gangguan yang berasal dari luar antara lain suara orang bertengkar, suara mobil yang keras, pandangan seseorang yang mencurigakan dan sebagainya. Sedangkan gangguan yang berasal dari orang yang sedang berkomunikasi itu antara lain: kemarahan, kesedihan dan sebagainya yang menyebabkan konsentrasi dalam berkomunikasi terganggu (www.google.com, bkkbn, Mei 2007).
Dalam Effendy (2003: 45-49), hambatan komunikasi yang harus menjadi perhatian bagi komunikator kalau ingin komunikasinya sukses dalam artian disini adalah orang tua dengan anak adalah 1) gangguan: mekanik yaitu gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik, semantik yaitu bersangkutan dengan pesan komunikasi yang pengertiannya menjadi rusak yaitu melalui penggunaan bahasa; 2) Kepentingan yaitu seseorang akan selektif dalam menanggapi atau menghayati suatu pesan; 3) Motivasi Terpendam akan mendorong seseorang berbuat sesuatu yang sesuai benar dengan keinginan, kebutuhan dan kekurangannya; 4) Prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai prasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang hendak melancarkan komunikasi.
Keutuhan keluarga dan keharmonisan keluarga sangat berperan terhadap kehangatan hubungan orang tua dengan anak. Apabila orang tuanya sering bercekcok dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh. Terdapat beberapa hasil penelitian sebagai berikut: R. Stury melaporkan pada tahun 1938, bahwa 63 persen dari anak nakal dalam suatu keluarga yang tidak utuh. K. Gottschaldt, Leipzig 1950 mendapatkan bahwa 70,8 persen dari anak-anak yang sulit dididik yang ia selidiki, berasal dari keluarga-keluarga yang tidak teratur, tidak utuh, atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. Demikian pula sekurang-kurangnya 50 persen dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak Tangerang berasal dari keluarga-keluarga yang tidak utuh, menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung tahun 1959 dan 1960 (Gerungan, 2002:185).
Menjadi orang tua, tidak semudah yang dibayangkan namun juga tidak sesulit yang ditakutkan. Orang tua yang gagal akan mengatakan betapa susahnya menjadi orang tua karena hubungan komunikasi orang tua dan anak kurang efektif sehingga tidak mencapai tujuan dan malah sebaliknya anak kehilangan arah dirinya sebagai sosok manusia yang tidak berguna seperti terlibat obat-obatan terlarang (kenakalan remaja), mempunyai perilaku agresif yang mengakibatkan kerugian pada dirinya sendiri maupun orang lain terutama keluarganya, merasa gagal dalam menerapkan komunikasinya. Sedangkan orang tua yang berhasil mengatakan betapa indahnya menjadi orang tua, karena komunikasi yang terjalin mendapatkan respon yang positif dari anaknya sehingga tercapai tujuan bersama.
Dari yang penulis amati, banyak fenomena yang terjadi dalam dunia keluarga terutama hubungan orang tua dan anak sering kali diantaranya terjadi hambatan bahkan kegagalan komunikasi ini (disharmonis communication) sehingga menyebabkan anak terlibat perilaku yang menyimpang seperti kenakalan remaja seperti yang telah diungkapkan di atas, karena anak disini merasa tidak puas akan perhatian orang tuanya dan akhirnya mencari pelarian sendiri yaitu mencari kesenangan di luar lingkungan keluarganya. Dalam (www.google.com, hidayatullah, Mei 2007) bahwa fenomena yang terjadi itu cenderung disebabkan antara lain:
1. Keterbatasan waktu dan terpola terburu-buru komunikasi dari orang tua dan anak.
2. Orang tua tidak mengenali diri sendiri.
3. Orang tua tidak paham akan kebutuhan dan keinginan mereka.
4. Orang tua belum menyadari bahwa pribadi unik bagi seiap anak sehingga kurang sabar.
5. Orang tua belum terampil membaca bahasa tubuh anak.
6. Senang memakai gaya populer orang tua pada saat anak bermasalah.
7. Tidak memilah dan memisahkan masalah siapa.
8. Pendengar yang pasif
9. Sering menyampaikan pesan yang tanggung maksudnya tidak tuntas sampai anak mengerti. Tetapi pada kenyataannya anak kurang mengerti atau misunderstanding.
Dari yang telah diuraikan penulis di atas maka terlahirlah suatu permasalahan yang tentunya harus dijelaskan pemecahannya atau mencari solusinya, permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Mengapa komunikasi dalam keluarga seringkali mengalami hambatan bahkan kegagalan antara orang tua dan anak?
2. Bagaimana sebaiknya komunikasi dan relasi antara pribadi difungsikan bagi peserta keluarga?

II. PEMBAHASAN

Kita akan melihat pengertian komunikasi terlebih dahulu, komunikasi adalah sebuah proses dimana pesan disampaikan oleh sumber pada penerimanya bisa berupa lambang-lambang (simbol). Pada umumnya orang berkomunikasi mempunyai tujuan antara lain: untuk memberikan informasi yang dimiliki dengan orang lain, untuk membujuk atau mempengaruhi orang (lawan komunikasi), untuk saling mengerti satu sama lain, untuk menyampaikan sesuatu yang dirasakan, dan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan diri sendiri. Lebih spesifik dalam bahasan ini berhubungan dengan komunikasi antarpribadi yang didefinisikan oleh Joseph A. Devito dalam bukunya “ The Interpersonal Communication Book” (Devito, 1989:4) sebagai
“proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika”. (the process of sending and receiving messages between two person, or among a small group of persons, with ome effect and some immediate feedback).
Dalam Shochib (2000: 17) pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri (Soelaeman, 1994: 5-10). Sedangkan pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuhan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yag dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (Soelaeman, 1994:12).
Mengapa komunikasi dalam keluarga seringkali mengalami hambatan bahkan kegagalan antara orang tua dan anak?
Esensi keluarga (ibu dan ayah) adalah kesatuarahan dan kesatutujuan atau keutuhan dalam mengupayakan anak untuk memiliki dan mengembangkan konsep diri sebagai manusia komunikan. Keluarga dikatakan “utuh”, apabila di samping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan, perlu diimbangi dengan kualitas dan intensitas hubungan sehingga ketidakadaan ayah dan atau ibu di rumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya.
David (1992: 33-94) dalam (Sochib 2007: 19-21) mengkategorikan keluarga dalam pengertian sebagai keluarga seimbang adalah keluarga yang dtandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi tanpa harus diminta. Orang tua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif. Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena di dalam keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman, walaupun tidak selalu disadari. Diantara anggota keluarga saling mendengarkan jika bicara bersama, melalui teladan dan dorongan orang tua. Setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama.
Keluarga kuasa lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya “didengarkan”.
Keluarga protektif lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidakcocokan sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap orang tua lebih banyak pada upaya memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis pedoman sebagai rujukan kegiatan. Esensi dinamika keluarga adalah komunikasi dialogis yang didasarkan pada kepekaan dan rasa hormat.
Keluarga kacau adalah keluarga kurang teratur dan selalu mendua. Dalam keluarga ini cenderung timbul konflik (masalah) dan kurang peka memenuhi kebutuhan anak-anak. Anak sering diabaikan dan diperlakukan secara kejam karena kesenjangan hubungan antara mereka dengan orang tua. Keluarga kacau selalu tidak rukun. Orang tua menggambarkan kemarahan satu sama lain dan hanya ada sedikit relasi antara orang tua dengan anak-anaknya. Anak merasa terancam dan tidak sayang. Hampir sepanjang waktu mereka dimarahi atau ditekan. Anak-anak mendapatkan kesan bahwa mereka tidak diinginkan keluarga. Dinamika keluarga dalam banyak hal sering menimbulkan kontradiksi karena pada hakikatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.
Keluarga simbiosis dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang kuat bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua sering merasa terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak, dengan alasan “demi keselamatan”. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Anak dewasa dalam keluarga ini belum memperlihatkan perkembangan sosialnya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja. Rumah dan keluarga mendominasi para anggota keluarga.
Di antara kelima pengertian keluarga dalam kategori bisa dikatakan bahwa komunikasi orang tua dan anak mengalami hambatan bahkan kegagalan karena komunikasi keluarga tersebut termasuk dalam kategori keluarga kuasa dan keluarga kacau karena di dalamnya dijelaskan bahwa orang tua terlalu berkuasa, segala peraturan yang dijalankan dalam keluarga harus sesuai dengan apa yang ada dalam buku peraturan dan tanpa mendengarkan apa yang dikomunikasikan anak atau keinginan anak akan kebutuhannya dan termasuk keluarga kacau karena cenderung timbul konflik dan kurang peka dalam memenuhi kebutuhan anak. Dalam Ali dan Anshori (2004: 94) ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhakan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan, dan sarana lain yang diperlukan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar kemampuan orang tua. Perasaan aman menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya.

Piramida Tingkat Kebutuhan Manusia

Ranking Kebutuhan Manusia oleh Abraham Harold Maslow (Naisaban, 2004: 278-279)
Manusia normal, baik anak maupun orang dewasa, senantiasa membutuhkan penghargaan atau dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu, mempermalukan anak di depan orang banyak merupakan pukulan jiwa yang sangat besar dan dapat berakibat buruk bagi perkembangan sosial anak. Dalam aspek psikologis, anak dapat terhambat atau bahkan tertekan, misalnya saja kemampuan dan kreativitasnya sehingga mengakibatkan anak menjadi banyak berdiam diri. Sikap seperti ini muncul karena merasa bahwa sesuatu yang akan dikemukakannya tidak akan mungkin mendapat sambutan atau bahkan akan dipermalukan. Sebaliknya, memberikan pujian kepada anak secara tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat menimbulkan perasaan disayang pada diri anak yang dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua, menyatakan kasih sayang kepada anak sampai anak menyadari bahwa dirinya mengetahui bahwa dirinya memang disayang oleh orang tuanya adalah sesuatu yang sangat penting. Dalam situasi demikian, anak akan merasa aman, dihargai, dan disayangi. Anak tidak merasa takut untuk menyatakan dirinya, pendapatnya, maupun mendiskusikan kesulitan yang dihadapinya karena merasa bahwa orang tua atau keluarganya ibarat sumber kekuatan yang selalu membantunya di manapun dan kapan pun dirinya memerlukannya.
Dengan kata lain yang sangat dibutuhkan oleh anak adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Apa yang sesungguhnya yang dimaksud dengan iklim kehidupan keluarga itu? Jay Kesler (1978:47) mendefinisikan iklim kehidupan keluarga sebagai:
The set internal characteristics that distinguishes one family from another and influences the behavior of people in it is called family climate...Climate is determined importantly by conduct, attitudes, and expectations of other persons.
Hoffam mengemukakan bahwa ada tiga pola dalam membimbing perkembangan hubungan sosial anak dalam komunikasi antar pribadi yaitu pola asuh bina kasih sayang (induction), pola asuh lepas kasih (love withdrawal), dan pola asuh unjuk kuasa (power assertion). Berdasarkan penelitian yang mendalam yang dilakukan oleh Hoffman (1989), Like (1993), dan Sarijannti (1999) menunjukkan bahwa pola asuh bina kasih adalah yang paling efektif untuk membimbing perkembangan hubungan sosial anak (Ali dan Asrori, 2004:104).
Hambatan dalam berkomunikasi dengan anak yang telah diungkapkan di atas dapat diatasi dengan beberapa solusi (dalam www.google.com, hidayatullah Mei 2007) adalah sebagai berikut:
1. Manage waktu kita, jangan tergesa-gesa dalam mengurusi anak.
2. Belajar kenali diri kita, lawan bicara kita, sebab tiap pribadi unik.
3. Pahami bahwa kebutuhan dan kemauan berbeda, apalagi pada usia tiap anak yang berbeda.
4. Belajar bahasa tubuh anak.
5. Jadilah pendengar aktif.
6. Jangan biarkan anak merasa tidak percaya diri, mendoktrin anak, pilah setiap masalah anak, orang tua, atau masalah bersama.
7. Teladan lebih baik dari 1000 kata seperti nasehat Luqman pada anaknya “jangan jauh dari Al-qur’an dan Al-Hadist”, hidupkan Sunnah sampai ke hal-hal yang kecil.
Sutan Takdir Alisyahbana (1974:34) dalam Sochib (2000: 24), menyatakan bahwa manusia yang mampu merealisasikan kehidupannya berdasarkan nilai-nilai agama, berarti dia telah memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama merupakan sumber nilai pertama dan utama bagi para penganutnya untuk dijabarkan dan direalisasikan dalam kehidupan kesehariannya.
Sayekti (1991:147), dalam disertasinya menyatakan bahwa nilai-nilai agama sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan keluarga. Keluarga yang berakar pada ketaatan beragama, perilaku-perilaku anggota keluarganya akan senantiasa dikendalikan oleh keyakinan terhadap agamanya.
Adalah penting bagi orang tua mengajarkan anaknya pendidikan agama sejak dini. Anak merupakan amanah Allah kepada orang tuanya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah S.A.W bersabda: “setiap anak dilahirkan dalam fitrah (suci yakni Muslim). Pendidikan agama Islam sejak dini sangat penting terutama di dalam membentuk karakter anak, segera ditegur, namun tegurlah dengan cara yang baik, tidak dengan kekerasan. Sebab bila kita mendidik dengan kekerasan maka generasi yang terbentuk akan keras juga. Ajarkan anak untuk menjadi manusia yang muttaqin yaitu senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (www.yahoo.com, akhwat, Juni 2007).
Komunikasi dalam keluarga akan terjalin baik jika masing-maing anggota keluarga sungguh-sungguh dalam memberikan dan menerima informasi. Karena dalam komunikasi antarpribadi ini tidak hanya dimaksudkan untuk “memberitahu” tetapi terkandung sifat berbagi diri, pikiran, perasaan, aspirasi dan aneka segi kehidupan. Dalam keluarga, komunikasi harus terjalin antara suami – istri maupun antara orang tua dengan anak, tanpa itu semua komunikasi yang efektif akan jauh diharapkan.

Adapun faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut: percaya, sikap suportif, dan sikap terbuka. Dengan adanya faktor-faktor tersebut komunikasi antara orang tua dan anak maupun anggota keluarga lainnya tidak akan mengalami hambatan dan kegagalan komunikasi. Untuk menjalin komunikasi yang harmonis diperlukan rasa percaya yang tinggi diantara keduanya agar tidak menimbulkan misunderstanding, sikap suportif akan mengurangi sikap defensif dan sikap terbuka akan mengurangi sikap dogmatisme (Rakhmat, 2002:129-138).
Bagaimana sebaiknya komunikasi dan relasi antarpribadi difungsikan bagi peserta keluarga?
Komunikasi antara suami – istri
Dalam keluarga, suami dan istri mempunyai kedudukan dan tanggung jawab yang sederajat, diantara mereka berdua mungkin saja terjadi perubahan kepemimpinan untuk hal-hal tertentu tergantung siapa yang lebih mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Suami istri akan melibatkan anak-anaknya untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan keluarga. Suami istri bersama-sama perlu mempertimbangkan pembagian tugas yang adil dan jelas diantara anggota keluarganya. Suami istri perlu menekankan tanggung jawab yang seimbang, memandang kesamaan hak, keunikan masing-masing, kebahagiaan, tanggung jawab dan komitmen sebagai nilai-nilai yang lebih diutamakan. Mereka perlu menghayati potensi serta kemampuan masing-masing, saling mendukung dan saling membantu serta berusaha untuk tidak saling menjatuhkan. Masing-maing memikul tanggung jawab yang penuh atas pikiran, perasaan yang timbul dari tindakan-tindakan yang dilakukan. Masing-masing dapat mengungkapkan pandangan-pandangan dan harapan-harapan dengan penuh percaya diri, tidak merendahkan, memaksa atau tanpa memberi kesempatan kepada yang lain untuk berkomentar.
Komunikasi antara orang tua dan anak
Dalam suatu keluarga komunikasi antara orang tua dan anak perlu diperhatikan. Pada hakikatnya anak merupakan makhluk yang dikonsepkan untuk tumbuh da berkembang dengan bantuan orang lain untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini orang tua mempunyai tanggung jawab yang utama. Komunikasi antara orang tua dan anak tidaklah merupakan hubungan satu arah, merupakan timbal balik sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing (www.google.com, bkkbn, Mei 2007).

Komunikasi yang sehat

Komunikasi yang sehat akan terlaksana dengan sendirinya apabila antara orang tua dan anak ada kedekatan emosi atau kehangatan hubungan. Anak-anak dengan sendirinya akan menjadi pribadi yang dengan senang hati bercerita dan menumpahkan perasaan sedih dan bahagia. Orang tua yang pemurung akan membentuk anaknya menjadi pemurung. Orang tua yang pemarah akan menghasilkan anak-anak yang pemarah. Anak-anak yang sehat (akhlaq/jiwanya) dan bahagia hanya lahir dari orang tua yang sehat dan bahagia. Untuk membina anak-anak menjadi pribadi yang sehat, bahagia tidak menuntut banyak persyaratan seperti berpendidikan tinggi dan berharta banyak, akan tetapi lebih bertolak pada kepribadian daripada orang tua. Sejarah membuktikan betapa banyak orang-oarang yang baik dan hebat berasal dari keluarga yang sederhana. Wajah orang tua yang bercahaya dan dihiasi seyuman ikhlas yang diberikan kepada anak-anaknya setiap akan berangkat sekolah dan setiap akan tidur jauh lebih berharga dibanding timpalan materi yang diberikan kepada mereka.

Cara Mendengarkan yang baik

Memang, tidak ada orang tua sempurna, karena setiap orang tua memiliki masalahnya masing-masing hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin antara mereka dengan anak-anak (dalam www.yahoo.com, Juni 2007)
1. Fokuskan perhatian pada anak.
2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian.
3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi.
4. Bantu anak mendefinisikan perasaan.
5. Bertanya, membimbing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang diahadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap-tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.
6. Mendorong semangat anak untuk bercerita.
7. Mendorong anak mengambil keputusan tepat.
8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berfikir positif.
Menjadi orang tua sekaligus sahabat
Perasaan orang tua dalam membina anak remaja tidak dapat diukur. Orang tua harus menyadari bahwa pada saat ini memasuki masa dunia anak remaja, anak-anak mengalami masa transisi antara lain tidak ingin tergantung dengan orang tua, merasa tidak membutuhkan orang tua, tidak banyak bicara, serta tidak ingin banyak diawasi. Remaja membutuhkan bimbingan orang tua untuk membentuk pribadi yang baik dan mengembangkan berbagai potensi diri. Anak perlu diarahkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Mereka harus dibantu untuk membentuk nilai-nilai yang memungkinkan mereka untuk membuat pilihan bijaksana dan menggunakan kebebasan mereka secara bijaksana (www.google.com,bkkbn, Mei 2007).
Kepribadian yang dimiliki seseorang (orang tua) akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain (anak) dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, etika, moral, norma, nilai, dan estetika yang dimiliki akan menjadi landasan perilku seseorang sehingga tampak dan membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang itu (Sjarkawi, 2006: 33-34). Dengan mempunyai kepribadian seperti itu orang tua akan timbul percaya diri yang tinggi untuk memberikan contoh buat anaknya dan akhirnya akan menimbulkan good effect buat kelancaran komunikasi dan hubungan yang hangat antara keduanya.
Dalam Rakhmat, (2002: 122), model permainan memegang peranan penting dalam hubungan interpersonal dalam komunikasi antarpribadi. Model ini berasal dari psikiater Eric Berne (1964, 1972) yang menceritakan dalam bukunya “Games People Play” yang dikenal dengan analisisnya transaksional. Yang mendasari permainan ini adalah tiga kepribadiam manusia – Orang Tua, Orang Dewasa, dan Anak. Orang Tua adalah aspek kepribadian yang merupakan asumsi dan perilaku yang kita terima dari orang tua kita atau orang yang kita anggap orang tua kita. Orang Dewasa adalah bagian kepribadian yang megolah informasi secara rasional, sesuai dengan situasi, dan biasanya berkenaan dengan masalah-masalah penting yang memerlukan pengambilan keputusan secara sadar. Anak adalah unsur kepribadian yang diambil dari perasaan dan pengalaman kanak-kanak dan mengandung potensi intuisi, spontanitas, kreativitas, dan kesenangan.
Dari model permainan untuk menciptakan komunikasi yang harmonis di antara anggota keluarga kadangkala kita akan bermain sebagai orang tua, dewasa dan anak-anak. Karena untuk menarik perhatian seorang anak kita sebagai orang tua bisa bermain sesuai situasi dan kondisi (piramida kebutuhan) yang dibutuhkan seorang anak sehingga bisa tercapainya tujuan bersama yaitu keefektifan komunikasi di antara keduanya. Walaupun kadangkala itu susah untuk dilakukan atau diaplikasikan dalam komunikasi keluarga tetapi itu merupakan suatu keharusan sebagai orang tua untuk bermain sebagai orang tua, dewasa, dan anak begitu pula orang tua mengharapkan sebaliknya dari seorang anak agar menimbulkan keharmonisan komunikasi.
Soal bagaimana berkomunikasi yang baik dalam satu keluarga terdapat dalam Al-Qur’an. Untuk berkomunikasi harus dilakukan dengan qaulan sadidan (Q.S. 4: 9). Artinya, pembicaraan yang benar. Dengan selalu berkata benar atau jujur di antara anggota keluarga.
Sementara itu, dalam hubungan antara pasangan suami-istri juga diperlukan adanya keterbukaan agar tidak terjadi hal-hal yang membuat curiga di antara ke dua belah pihak. Bila tidak amanah atau jujur yang kemudian terjadi adalah berkembangnya sikap saling curiga dan tidak mempercayai.
Dalam surat Al-Israa ayat 23 terdapat kalimat qaulan kariman (perkatan yang mulia). Dalam kandungan ayat ini disebutkan bahwa anak-anak dilarang mengatakan “ah” dan membentak orang tua kita. Anak harus sopan dan santun ketika orang tua mengajaknya berbicara dan juga ketika orang tua menyuruhnya untuk berbuat sesuatu. Ayat ini sangat memelihara perasaan sehingga tidak menyakiti orang tua.
Selanjutnya, dalam surat An-Nisaa ayat 5 terdapat kata qaulan ma’ruf (perkataan yang baik). Kepada orang tua yang mempunyai anak-anak masih kecil ataupun dewasa tapi belum bisa mengatur harta yang dimilikinya, maka diharapkan orang tua tidak memberikan dulu harta tersebut kepada anaknya. Karena dikhawatirkan anak tidak bisa memanfaatkan harta tersebut dengan sebaik-baiknya malah justru menghambur-hamburkannya. Tentu dalam persoalan ini, orang tua harus berkata dengan perkataan yang bijak dan dimengerti oleh anak, tanpa menyinggung perasaan anak yang cenderung ingin menang sendiri.
Komunikasi antarpribadi harus dilakukan dengan perkataan yang lemah lembut atau qaulan layyinan (Q.S. 20: 44). Ibarat api yang harus dilawan dengan air, begitupun bila anak emosional dan egois diharapkan orang tua memberikan pengarahan, didikan, dan larangannya untuk tidak berbuat yang tidak baik dengan perkataan yang bisa membawa suasana lebih sejuk atau perkataan lemah lembut.
Komunikasi dalam keluarga juga harus dilakukan dengan qaulan balighan (perkataan yang jelas atau fasih) (Q.S. An-Nisaa:63). Misal, ketika ditanya suaminya tentang suatu hal, si istri menjawabnya dengan perkataan yang tidak jelas. Ini bisa menimbulkan ketersinggungan pada lawan bicaranya (suami), karena merasa pertanyaannya tidak dihiraukan. Atau sebaliknya dan akibatnya akan menimbulkan suatu pertengkaran.
Komunikasi juga harus dilakukan dengan qaulan maysuran atau perkataan yang pantas (Al-Israa: 28). Ketika orang tua menjanjikan sesuatu hadiah kepada anaknya, namun janji itu tidak terpenuhi pada waktunya maka orang tua harus memberikan alasan dengan perkataan yang pantas disampaikan untuk anaknya. Orang tua bisa berkata kepada anaknya, bahwa apa yang sudah dijanjikan itu belum ada rezekinya dari Allah SWT (www.pikiran-rakyat.com, renungan_jumat, Juni 2007).
Menurut saya komunikasi dan relasi antar pribadi difungsikan pada setiap peserta keluarga harus maksimal maksudnya dengan hubungan yang harmonis dan tidak terjadi komunikasi yang hanya satu arah saja tetapi harus ada feedback antara orang tua dan anak, suami dan istri. Agar yang dimaksudkan disini yaitu tidak terjadi miscommunication yang menghasilkan misunderstanding dan akhirnya menghasilkan bad effect antara keduanya. Faktor keakraban dan kedekatan itu juga sangat berpengaruh dalam menjalin komunikasi yang efektif antar anggota keluarga, jangan sampai ada jarak yang jauh antara orang tua dan anak, suami-istri karena hanya alasan kesibukan orang tua, atau kesibukan masing-masing orang sehingga tidak memperhatikan bagaimana pemenuhan kebutuhan anaknya dan antar suami-istri.

III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KESIMPULAN
Proses komunikasi antara orang tua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikaskan perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain. Lama-kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui). Dalam pengertiannya bahwa diharapkan tidak akan terjadi disharmonis relation atau keterhambatan dan kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak atau dengan anggota keluarga lain.
Yaumil Agus Akhir, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat, mengungkapkan tentang sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa anak remaja pada dasarnya masih sangat membutuhkan perhatian dari orang tua, namun di satu sisi, mereka juga tidak terlalu senang bila orang tua terlalu ikut campur dalam urusan-urusan yang menurut remaja ini dianggap sangat pribadi. Barangkali yang menjadikan komunikasi antarpribadi antara orang tua dan anak remaja mencapai relasi yang efektif adalah adanya empati yang ditunjukkan orang tua. Selama ini dialog dengan keterbukaan yang dilandasi rasa saling percaya dan kasih sayang seringkali terabaikan karena banyak faktor (www.google.com bkkbn, Mei 2007).
Dalam lingkup keluarga, komunikasi dapat dilakukan antar anggota keluarga, dan jika pesan jelas, lengkap, singkat, benar dan sopan maka diharapkan komunikasi akan berhasil seperti yang diharapkan. Keefektifan hubungan antar pribadi adalah taraf seberapa jauh akibat-akibat dari tingkah laku kita sesuai dengan yang kita harapkan. Kita dapat meningkatkan kefektifan kita dalam hubungan antarpribadi dengan cara berlatih mengungkapkan maksud-keinginan kita, menerima umpan balik tentang tingkah laku kita, dan memodifikasikan tingkah laku kita sampai orang lain mempersepsikannya sebagaimana kita maksudkan. Artinya, sampai akibat-akibat yang ditimbulkan oleh tingkah laku kita dalam diri orang lain itu seperti yang kita maksudkan.

REKOMENDASI

Agar komunikasi dan relasi antar anggota keluarga difungsikan dan tidak terjadi hambatan dan kegagalan komunikasi harus ada hubungan yang harmonis, yaitu terjadinya komunikasi dua arah dalam keluarga karena komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak adalah wahana yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak yang kokoh dan dapat diharapkan. Dari sini para orang tua semestinya menyadari betapa tanpa strategi komunikasi yang jitu dalam keluarga, maka jalan menuju kegagalan dalam mencetak putra-putri yang berguna, akan nampak jelas depan mata.
Kepribadian seseorang yang tidak dewasa akan sangat mudah terpengaruh dan cepat berubah kearah negatif bila tidak dilandasi dengan agama yang benar dan suasana keluarga yang sehat. Saya akan mempersembahkan suatu puisi yang indah dan penuh makna agar bisa diperhatikan semua orang tua untuk anak-anaknya.
Puisi ini sangat penting untuk diketahui oleh orang tua karena di dalamnya menyimpan sejuta makna yang menghantarkan kognisi orang tua untuk dijadikan sebagai bahan renungan dan akhirnya menyadari bahwa kehangatan hubungan antara orang tua dan anak maupun anggota keluarga lainnya harus dijaga selalu. Untuk menciptakan komunikasi dan hubungan antarpribadi yang baik satu sama lain harus adanya kesamaan pemahaman bahwa diantaranya saling membutuhkan (bisa dilihat piramida kebutuhan yang telah diuraikan di atas).

Puisi indah dan penuh makna ditulis oleh Dorothy Law Nolte

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah hati
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Puisi indah nasehat untuk seorang ibu Khalil Gibran

Anakmu bukan anakmu, mereka putra Sang Hidup yang rindu hati dirinya
Lewat engkau mereka lahir, tetapi bukan dari engkau
Mereka ada padamu, tetapi bukan milikmu
Beri mereka kasih sayang, tetapi jangan suapi pikirannya
Kau boleh menyerupai mereka, tetapi jangan paksa mereka menyerupaimu
Mari kita menjadi orang tua dengan “hati” dan membantu tumbuh kembang anak-anak kita dengan “hati” pula hindari ketidakharmonisan komunikasi. Didik mereka dengan berlandaskan agama insyaallah cita-cita mewujudkan generasi muda bangsa Indonesia yang siap pakai.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jamaludin, (2001), Menjadi Orang Tua Sehat, retrieved Mei 29, 2007 from www.google.com untuk http://www.biropersonel.metro-polri.net yang direkam pada 13 Mei 2007 01:32:33 GMT.
Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori, 2004, Psikologi remaja (Perkembangan Peserta Didik), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Devito, Joseph A., 1997, Komunikasi Antarmanusia, Penerbit Professional Books, Jakarta.
Dian, P, 2007, Menjalin Komunikasi yang Efektif dalam Keluarga, retrieved Mei 29, 2007 from www.google.com, bkkbn. html. direkam pada 28 Apr 2007 07:21:36 GMT.
Dienullah, Mohammad J., 2007, Komunikasi Islami Cegah KDRT, retrieved 4 juni, 2007 from www.pikiran-rakyat.com, renungan-jumat.htm
Effendy, Onong Uchajana, 2003, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Gerungan, 2002, Psikologi Sosial, Penerbit Refika Aditama, Bandung.
Muslimah, 2006, Hambatan dalam Berkomunikasi dengan Anak, retrieved Mei 29, 2007 from www.google.com, hidayatullah.com direkam pada 23 Mei 2007 05:15:07 GMT.
Naisaban, Ladislaus, 2004, Para Psikolog Terkemuka Dunia (Riwayat Hidup Pokok Pikiran dan Karya), Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Rakhmat, Jalaluddin, 2002, Psikologi Komunikasi, Penerbit PT. Rosdakarya, Bandung.
Rahman, Jamaal Abdur, 2005, Tahapan Mendidik Anak, Penerbit Isyad Baitus Salam, Bandung.
Rini, Jasinta F. 2005, Mendengar atau Terdengar?, retrieved Juni, 2007 from www.yahoo.com
Sjarkawi, 2006, Pembentukan Kepribadian Anak (Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri), Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.
Sochib, Mohammad, 2000, Pola Asuh Orang Tua (Dalam Membantu anak Mengembangkan Disiplin Diri), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Supratiknya, 1995, Komunikasi Antarpribadi (Tinjauan Psikologis), Penerbit Kanisius, Yogyakarta.